Monday, April 18, 2005

"Kotak Sabun", Kerja Mekanik, dan Dedikasi Buku

Matabaca Vol. 3 No. 8 April 2005

Katakanlah, "seorang penulis itu sudah mati", ketika bukunya sudah berada di khalayak pembaca. Dalam putaran "kedua", pertarungan berikutnya adalah nasib yang akan menentukan: apakah buku tersebut akan diserbu para penggila buku, atau bertahan menumpuk di antara pengunjung yang "dingin" dengan karya tersebut. Mulai dari perbincangan di kedai kopi, hingga resensi buku berkelas pun, tilai-menilai buku punya cerita sendiri. Cara memandang buku dari banyak sisi tentu akan melahirkan sejumlah kritik, tilaian, pujian, cemooh, bahkan caci-maki. Buku bisa menjadi ceracau yang hangat untuk dibincangkan, ,kadang menjadi trauma, atau bahkan bisa pula melahirkan sebuah kontoversi. Mimpi buruk bisa saja terjadi; buku masih berjejalan di rak buku, dan terbuka kemungkinan komentar di sela rehat salah seorang pembaca: “Ooh… Buku itu,” dengan nada yang dingin.

Novita Estiti, tak akan pernah tahu, kalau naskahnya yang dikerjakannya selama berbulan-bulan itu akan berbuntut "sesuatu" yang bisa dinamakan kontroversi. Novelnya yang berjudul Subject: Re ditambahi sebuah label atau stempel atau apalah namanya yang merujuk sebuah genre yang sedang marak di jagat pustaka kita kiwari. Buku yang terbitkan GagasMedia, (November 2004) itu terdapat lingkaran merah bertuliskan: “Chicklit Asli Butan Indonesia” yang bertengger di bagian kiri atas halaman sampul novelnya.

*

Novel yang ditulis Novita cukup unik. Penceritaan novelnya dipaparkan dalam bentuk pos-el (email) dari tokoh utamanya: Nina dan Yudha. Kedua sahabat ini menjadikan pos-el sebagai media untuk berkomunikasi. Dari pos-el inilah cerita dalam novel dibangun. Dengan penceritaan antara dua tokoh ini, kedalam cerita dan penokohan sangat tergali. Kisah manusia urban dan konstelasi konflik yang sangat personal.

Novita punya latarbelakang bekerja di media. Ia pernah bekerja mulai dari proffesi Redaktur Mode dan Kecantikan, sampai desainer grafis. Maka tak heran jika dia begitu fasih menggambarkan konflik dan setting ceritanya dalam novel Subject: Re ini. Meski ia menegaskan berkali-kali bahwa apa yang ditulisnya adalah sebuah karya fiksi belaka.

Setting ceritanya pun manusia-masnuia yang kesepian di rimba raya metropolitan. Manusia urban dengan kelaziman masalah psikis yang kentara, kontras dengan gebyar profesionalisme lingkup kerjanya. Dari Jakarta, Australia, atau entah di manapun ia, kota tetaplah media simpan yang melahirkan banyak kesepian, begitupun Nina dan Yudha. Tema-tema seputar kematian, bunuh diri, ketidakbahagiaan, dan sisi-sisi buruk kehidupan lainnya.

Layaknya sebuah pos-el, chat, atau dialog di dunia maya, tuturan yang ditampilkan padat, santai, intim, dan bertaburan "bahasa gaul". Bisa dipahami mengingat dengan tuturan demikian, novel ini menyajikan senatural mungkin apa yang terjadi di media maya itu. Gaya penyajiannya otomatis dinamis, spontan, penuh lompatan-lompatan kisah, dialog, monolog, ambience, dan tanya-jawab begitu berserakan, menimbulkan mood hipersensitif, yang reaktif bagi pembaca yang terbiasa dengan dunia maya itu.

Ada formula humor yang rapih tergarap, dan sangat menonjol adalah pencapaian egosentrisma dari tokoh Nina dan Yudha. Bukankah memang demikian, ketika kita punya godmother, sahabat pena, soulmate, atau teman curhat yang apalagi media yang digarap adalah sebuah pos-el. Kesan intim, dan eksplorasi ke-"aku"-an itu akan sarat jadinya.

Kalau menimbang-nimbang paparan ini, khusunya dari segi teknis penggarapan bukankah tak jauh beda dengan kondisi mainstream chicklit yang saat ini marak? Cerita anak muda di perkotaan, yang biasanya digarap dengan bahasa yang santai itu.

“Sejak awal saya menyerahkan naskah pada penerbit, saya menegaskan, kalau ini bukanlah chicklit. Saya tidak mau buku ini dilabeli chicklit karena memang bukan chicklit,” katanya tegas. Meski bersikeras mengatakan naskahnya ini bukanlah chicklit, ia segera menambahkan kalau landasan berfikirnya bukan dikarenakan ada semacam trauma terhadap chicklit. Novita pun pernah membaca Shopaholic-nya Sophie Kinsella, misalnya.

Suatu ketika, saat bukunya sudah tercetak dan telah siap menjadi "warga baru" dalam toko buku, Novita sendiri baru tahu adanya label, tepatnya sewaktu hendak mengambil buku di distributor. Jadi, boleh dibilang ini sebuah "kejutan" buat Novita sebagai penulisnya.

Sebenarnya, kejadian ini bukanlah sesuatu yang rumit, meski tak bisa dibilang sepele. Tahapan last proof sebagai media bibit yang akan diperbanyak secara massal harusnya diperlihatkan oleh pihak penerbit pada penulisnya. Kewajiban bagi penerbit, dan hak bagi seorang penulis. Jika sampai tahap berikutnya, dan ini terlewatkan, kedua pihak harusnya menyadari sudah memasuki tahapan yang keliru. Ada tahapan yang terlewati.

Bukankah hak penulis untuk meminta preparate dari last proof baik materi konten naskah, hingga samak sampul buku, itu sudah semacam kerja mekanis antara penulis-penerbit? Bukankah ihkwal tersebut sudah tercetak dalam lembar hitam dan putih kedua pihak?

Apapun alasannya, dengan kotroversi, buku jadi menarik untuk disimak. Peselisihan paham ini kali pertama disiarkan di sebuah milis perbukuan secara sepihak oleh Novita, sebagai penulisnya. Dalam milis Pasarbuku, Novita menyatakan diri sedang berjuang untuk penolakkannya atas label tersebut. Banyak yang simpati, ada juga yang bersikap toleran atas "kebijakan" penerbit.

*

Genre atau penggolongan atas jenis tertentu telah melahirkan sejumlah kepekaan, daya kritis, dan prasangka. Lucas Seifert pernah dihantam saat menuliskan pemikirannya untuk pembagian genre musik yang menurutnya sangat mengecoh. Menurutnya, pembagian jenis tertentu bukanlah jalan terbaik untuk membuat sebuah penilaian atas kerja seni. Menurutnya, seni produk adalah bagian dari arts itu sendiri. Penggolongan itu, tambahnya lagi, hanya rekaan industri belaka. Saat artikelnya dimuat di malajah musik Spin edisi Inggris November 1989 itu, tak kurang disambut 2.375 pucuk surat pembaca yang menyerangnya, belum lagi polemik yang berjalan berbulan-bulan.

Kendati tidak "semeriah" indutri musik, buku pun telah punya kotak-kotak tersendiri. Ada "kotak sabun" yang menyimpan barang layak laku cepat, ada "kotak emas" atau kotak apa pun namanya itu, yang boleh dimasukan karya-karya "serius" dan sebagainya. Semua itu merupakam sebuah pengkategorian; upaya penyarungan atas sebuah karya, di arah berlainannya akan membuka banyak peluang bergulirnya gunjingan kedai kopi, sampai wacana kritis. Ada semacam kasus temuan bagi Novita atas pelabelan itu telah menyebabkan pembaca pria enggan mermbaca novelnya tersebut. Prasangka atas chicklit yang berkonotasi bacaan wanita, dan ringan juga akan menjebak pembaca buku.

Lahirnya "kotak buku" bernama chicklit, teenlit, momlit, homolit, sampai ladlit dan lain sebagainya, tentu menanggung beban sejumlah wacana diskusi yang hangat hingga kini. Sampai meledaknya Bridget Jones Diary garapan Helen Fielding yang melahirkan beragam asumsi, tak kurang sampai kini ada stigma di pasaran buku dunia dengan perangai buku dalam kotak ini. Mereka lahir untuk mengejutkan, dipuja, namun tak sedikit yang alergi dengan "kotak sabun" ini. Memang begitu resikonya sesuatu yang bernada booming, bukan? Dikotomi pro-kontra, cinta-benci, menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan. Bahkan, Marrian Keyes yang dianggap pencetus kontruksi chicklit pun masih punya ruang untuk didiskusikan kembali.

Apa yang digugat oleh Novita sebagai penulis tentu punya banyak cabang perhatian. Dari sudut hukum ada bagian sendiri yang akan membedahnya secara analitik. Bagian ini akan menghasilkan banyak idea dan atas perangai hukum perbukuan kita saat ini. Tentu saja akan menarik bila menggeret masalah ini dengan "pisau" hukum yang berlaku. Namun, dalam artikel ini, juga menyisakan efek yang lain. Dari segi sosial, Novita punya ekses untuk menolak dimasukkan dalam kotak tertentu, yaitu chicklit. Tapi, apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur, buku dengan label tersebut sudah beredar di pasaran.

Yang perlu digarisbawahi adalah sebuah mekanika kerja kolektif antara penerbit dan penulis buku. Jika sikap kooperatif terjalin, mestinya, kejadian ini musykil akan terjadi. Penerbit yang dibebani tekanan pasar yang sengit, penulis yang dipenuhi semesta raya idealisme, dan kenyataan apa yang terkandung dalam konten buku, seyogyanya bisa jadi rollemodel wilayah kerja kolektif sebuah mekanika industri, bernama industri buku. Terlewatkannya tahapan ini bukanlah semata kesalahan pihak penerbit yang terkesan lalai dan melangkahi aturan, pun, ini cerminan untuk kondisi penulis kita sekarang yang seharusnya lebih gesit, tanggap, dan paham persoalan penerbitan. Saat ini, masih terasa ada jeda roaming bahasa antara penulis dengan penerbit.

Bila saja rundown antara editor, atau pendisain (kaver) buku dengan penulis dalam kondisi ketergesaan jadwal yang padat dan taktis waktu yang rapat oleh ‘mulut harimau’ percetakan. Toh, dengan sejumlah tools (media internet/alat komunikasi) kerja mekanik itu bukan hanya akan mempermudah medan kerja, tapi, mengatasi sekecil mungkin peluang kealfaan ini, misalnya. Juga proses chemical reaction (antara penulis-editor/penerbit) bisa mengurangi sejumlah peluang resiko semacam ini.

Dalam pasar pendapat dalam milis tersebut, Manneke Budiman (pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UI) mengatakan kalau penerbit bukunya sangat terobsesi untuk membuat buku ini laris. Meski bagi penulisnya, Manneke menyarankan untuk membuka diri. Toh, jika ini dinilai sebagai chicklit akan terbuka peluang pendapat: “ini chicklit yang berbeda”. Begitupun Anwar Holid (editor sebuah penerbitan dan sekarang kolomnis di Harian Republika) dalam tanggapan berikutnya, menyarankan penulisnya agar baik-baik saja. Toh, tulis Holid di milis itu, tidak semua harapan penulis akan bukunya terpenuhi.

Dalam kasus ini, Novita pun menyadari adanya sebuah "keuntungan", jika bisa disebut demikian. Setelah masalah ini diangkat ke bebagai media, terutama dari blog pribadi, sejumlah pos-el di milis, dan press release yang di edarkan saat roadshow, bukunya banyak dicari orang, dari sekedar ingin mengetahui sampai yang membeli.

Penulis dan pengotakan bukan hanya akan terjadi dalam kasus Novita , John Grisham misalnya, novelis yang kerap menuliskan kisah-kisah friksi dunia peradilan sempat berang ketika sebuah review untuk bukunya Skipping Christmas dalam The Guardian dinyatakan sebagai buku anak-anak. Grisham beranggapan ini adalah novel dewasa, dan menurutnya, review itu bisa menyesatkan pembaca dan menggeser pasaran bukunya. Tapi yang terjadi, buku Skipping Christmas ludes mendekati 700.000 eksemplar.

Saat itu orang menduga Grisham mencari perhatian ketika ia dinilai mandek untuk menuliskan cerita-cerita sebrilian The Firm, A Time To A Kill, atau The Street Lawyer. Belum sempat sidang pembaca menyaksikan silang selisih antara penulis dan kritikus, lalu juru bicaranya menyalip, menyatakan Grisham berterimakasih atas apresiasi yang sangat dalam atas karyanya. Khalayak langsung dingin, dan cerita ini berangsur-angsur lenyap tanpa bekas.

Lain Grisham, lain pula Sophie Kinsella, si ikon chicklit. Ia harus bersikap menerima ketika gembar-gembor siaran televisi ABC yang menyambut novel Shopaholic & Sister-nya masuk dalam kotak teenlit, bukan chicklit.

“Saya adalah penulis buku. Dedikasi itu punya ruang yang sangat luas. Dedikasi menulis, seperti membuat makaroni. Apa kesukaanmu? Dengan lada hitam? Kompromi saya adalah bagaimana membuatnya lezat untuk makan malam. Jadi saya biarkan mereka yang menikmati,” tutur komentarnya dalam siaran yang sama di keesokan harinya. Padahal dalam siaran itu bukunya itu dianggap meracuni anak-anak muda usia remaja menjadi pelaku "kanibalistis" dunia belanja. Sepertinya, Kinsella acuh bukan karena dia mengalah dengan kritik tersebut.

Dari kedua contoh tersebut, rasanya sikap berserah diri pada sidang pembaca rasanya cukup adil, bukan?

Dewi Rohkmawati, alumnus Psikologi UI, pengelola situs sriti.com, tinggal di Jakarta