Tuesday, January 25, 2005

From A Discussion in the ResensiBuku Mailing List

From: "Eliza"
Date: Tue Jan 25, 2005 1:13 am
Subject: Re: [ResensiBuku] Subject: Re:

Poppy :
----cut
Ada satu komentar di belakang buku dari Eliza Dewi yg menyebutkan '...power dari buku ini: realita yg jujur.' Serem amat sih kalo jujurnya kaya begini? Jadi banyak toh orang2 yg kaya begini di dunia? Haaaah?? Jadi penasaran, Mbak Novita ini riset dimana Mbak? Emang punya temen2 yg kaya gini atau malah pengalaman pribadi? Hehehe... mudah2an nggak
ya?
----cut

Dessy :
----cut
buat yang ngerasa buku ini beraura negatif, setidaknya buku ini menggedor hati untuk melihat sebuah generasi yang tersembunyi. terlepas apakah masyarakat menolak, menerima, atau memusuhi, tokoh2 seperti dgn cara hidup dan cara pandang seperti ini 100% nyata dan ada.
----cut

Saya bisa memberikan komentar seperti itu, ya karena saya pikir buku ini mengangkat realita yang sudah ada di Indonesia. Saya kurang lebih juga setuju dengan komentar Dessy yang menyinggung soal generasi tersembunyi. Meskipun sebenarnya sih nggak tersembunyi2 amat. Hanya barangkali masyarakat kita banyak yang memilih untuk pura2 tidak tahu tentang mereka.

Waktu saya membaca Subject: Re:, saya menebak bahwa setidaknya novel ini akan menimbulkan dua reaksi. Yang tersentuh dan merasa novel ini "gue banget . Atau yang choose to ignore dan lari kembali ke sudut nyamannya. Saya tidak merasa salah satu reaksi ini ada yang salah. Toh, dua2nya bisa dimaklumi. Reaksi yang pertama wajar, karena sering orang bisa mendapat penghiburan dari orang yang jalan pikirannya atau pengalamannya mirip. Reaksi yang kedua juga wajar, karena bagaimanapun kamu pasti sedikit kaget kalo berbenturan dengan dunia yang begitu lain dengan duniamu. Apalagi kalo gaya pengungkapannya begitu jujur seperti dalam novel ini.

Bagi saya, novel ini cuma mau jujur. Meskipun yang diangkat dunia yang gelap Tapi toh jujur, tidak dibuat2. Begitu ya begitu. Meskipun resikonya ya terima reaksi2 yang agak keras. Yah, jujur itu sudah jadi barang langka sekarang ini. =)

Eliza Dewi - sealthewriter
http://sianjinglaut.blogspot.com

Monday, January 24, 2005

From A Discussion in the ResensiBuku Mailing List

From: Dessy Yasmita
Date: Mon Jan 24, 2005 2:48 am
Subject: Subject: Re: -- a voice from the Hidden Generations

akhirnya berhasil juga baca Subject:Re dan saya sendiri bakal bilang, "Buku ini gue banget!" Mungkin karena selama ini saya juga hidup dari internet, mulai dr imel, chatting, sampe nge-blog, jadi dunia yang diceritakan Estiti itu deket banget dengan kehidupan internet yang saya tau.

buat yang ngerasa buku ini beraura negatif, setidaknya buku ini menggedor hati untuk melihat sebuah generasi yang tersembunyi. terlepas apakah masyarakat menolak, menerima, atau memusuhi, tokoh2 seperti dgn cara hidup dan cara pandang seperti ini 100% nyata dan ada.

Bahwa tidak ada problem solving terhadap pertanyaan2 filosofis (ttg ketidakbahagiaan, kebosanan, dll) yg terbangun dalam kedua karakter ini, menurut saya itu bukan masalah. toh plotting2 actionnya sudah terselesaikan (keputusan utk hamil, cerai, berselingkuh, putus dr perselingkuhan, dll). soalnya pertanyaan filosofis kan memiliki jawaban yg sangat luas dan dengan mengetahui ketidakbahagiaan itu apa, mungkin kita bisa bertanya pada diri sendiri: kebahagiaan itu apa? Dan cukup hati kita saja yang menjawabnya.

anyway, it's a good book. scene-scene-nya terasa cepat dan lompatan waktunya juga cepat tapi ngalirnya enak. obrolannya fokus dan to the point.

jauh sebelum bukunya terbit, saya sudah direkomendasikan oleh teman saya untuk membaca buku ini dan saya setuju buku ini bukan chicklit. Estiti, maju terooosss! ;)

D.

From A Discussion in the ResensiBuku Mailing List

From: "Poppy"
Date: Sun Jan 23, 2005 12:57 am
Subject: Subject: Re:

Udah selesai baca Subject: Re:. Wuidiiiiih....ini buku bener2 bikin depresi. Ceritanya tentang dua orang yg sama2 gak pernah bisa nikmatin idup, e-mail2an, dan buku ini isinya kumpulan e-mail mereka dan hasil chatting. Tapi Mbak Novita boleh juga lho, bisa menerangkan karakter kedua orang ini dan cerita kehidupan mereka hanya dari isi e-mail mereka.

Ada satu komentar di belakang buku dari Eliza Dewi yg menyebutkan '...power dari buku ini: realita yg jujur.' Serem amat sih kalo jujurnya kaya begini? Jadi banyak toh orang2 yg kaya begini di dunia? Haaaah?? Jadi penasaran, Mbak Novita ini riset dimana Mbak? Emang punya temen2 yg kaya gini atau malah pengalaman pribadi? Hehehe... mudah2an nggak ya?

Kalo gue setelah baca punya kesimpulan bahwa kedua tokoh ini: egois, gak bahagia (of course!), negative thinking, introvert, menjurus ke suicidal, cenderung atheis, nggak melek mata soal dunia yg indah (katanya), dll dsb yg serem2. Jadinya gue belajar juga bahwa orang2 kaya gini pikirannya seperti ini ya? How pathetic! Gue jadi amat sangat bersyukur bahwa gue gak pernah punya masalah seperti kedua tokoh ini dan gak pernah ketemu orang2 seperti mereka.

Salut buat Mbak Novita. Dengan setting cerita hanya e-mail, jadinya gak perlu tuh mengikuti peraturan bhs Indo yg baik dan benar. Salah tulis atau salah eja juga sah2 aja. Bacanya enak, tapi sambil merinding.

This is not my kind of book, actually. Tapi seneng juga udah pernah baca. Dan memang bukan CHICKLIT! Ayo, Mbak Novita, perangi orang2 yg mau mengkategorikan buku ini sebagai chicklit! Seperti kata Tya, chicklit sebetulnya jangan dikasih label 'literature', cukup 'fiction' aja kali ya Tya? Tapi Subject: Re: menurut gue pantas dimasukin kategori literature, walaupun gak ngikutin estetika tata bahasa.

Poppy

From A Discussion in the ResensiBuku Mailing List

From: "nurul rahmani eliana"
Date: Thu Jan 20, 2005 10:56 am
Subject: Subject : Re :

wah, saya agak gak menikmati baca buku ini, gak tau ya? energinya terlalu negatif gitu, tapi mungkin emang mau pengarangnya ya?

ceritanya ttg dua orang yg punya hubungan, gak jelas juga pertemanan atau apa, tapi mereka merasa saling membutuhkan, dan cerita dibangun dlm email2 dan script chat berdua, bagi mereka gak ada yg harus dirahasiain selama mereka tetap berhubungan seperti itu, nah awal2 cerita saya udah mo nyerah aja ngebacanya, abis puyeng, banyak pertanyaan2 mereka yg dalem bgt, tapi gak pernah terjawab, semuanya hanya mungkin...mungkin...dan mungkin..., jadi mereka kayaknya sibuk dgn diri sendiri aja.

lalu cerita terus berlanjut, dan sampai saatnya mereka akhirnya punya hubungan yg lebih dalam, dan ternyata...hal itu juga gak ngebuat mereka lebih bahagia, selalu ada aja hal yg yah...merasuki pikiran mereka, so lama2 jadi malah gak seakrab waktu cuma temenan lewat cyberspace doang.

kalo saya liat2 sih, kayaknya mereka berdua jenis orang yg agak2 kurang bersyukur, means...gak menghargai apa yg udah mereka dpt, tapi terus menyesali apa yg gak pernah bisa diraih, kasian sih...tapi mereka juga tipe yg gak mau dikasihani kayaknya hehehe, maunya sih mereka jadi orang yg unpredictable, yg beda aja dari orang kebanyakan, tapi jadinya malah menyengsarakan diri sendiri, atau mungkin gak?

bagi mereka lebih baik gak seperti orang lain yg munafik kali ya? jadi jujur2an aja gitu, tapi mereka sendiri sebenernya takut kalo kejujuran itu bakalan nyakitin diri sendiri, dan finally kayaknya memang iya.

gak ada salahnya baca ini novel, kalo emang sukanya baca yg rada2 filosofis, tapi mungkin this is not my kind of book ya? di akhir2 aja saya baru ngerasain yg mau pengarangnya kasih tau, telat bgt gak? jadi silahkan menilai sendiri deh...

anyway i thank kang usen buat hadiah buku ini...

thanx
nana

btw...soal buku ini, aku pernah liat debatnya di milis lain, n ngomongin soal label chicklit nya, well... i think ini kalo dibilang chicklit, pasti berat bgt, tapi aku pernah juga baca chicklit yg isinya agak kayak gini, walau gak negatip2 amat siy!

no hard feelings siy, aku agak2 gak percaya ada orang yg punya sifat bener kayak si nina (main character) di kenyataannya, mungkin ada but i havent meet them, may b...

soal bentuk penulisannya, aku hanya agak bingung pas baca yg dlm bentuk script chatting itu, suka kebolak2 mana yg ngomong nina, mana yg yudha (kalo gak liat id nya), that's all deh!

nana

From A Discussion in the ResensiBuku Mailing List

From: "Ferina Permatasari"
Date: Mon Jan 17, 2005 4:45 pm
Subject: Subject: Re:

"Ini hanyalah
sepotong kehidupan
dua orang yang tak pernah bahagia
dan berusaha percaya
bahwa
mereka telah saling menemukan"

Kata-kata di atas adalah pengantar dari novel Subject: Re:, dan kata-kata tersebut juga yang mempengaruhiku untuk membaca buku ini. Seolah menyindir kita akan keyakinan kita dalam menentukan suatu pilihan.

Subject: Re: mengisahkan tentang kehidupan dua anak muda yang merasa hidup mereka terjebak dalam rutinitas yang membosankan.

Nina, seorang perempuan muda, freelancer di sejumlah majalah mode, merasa hidupnya itu hanya 'begitu-begitu' saja, justru dia lebih suka ketika sedang menganggur karena bebas melakukan apa yang dia mau. Sampai akhirnya dia harus menikah karena hamil di luar nikah dengan pacarnya yang berusia lebih muda darinya. Satu-satunya kebahagiaan yang dirasakan Nina, adalah ketika sedang bersama anaknya, ditemani anjing kesayangannya.

Sedangkan, Yudha, mahasiswa S3 yang memperoleh beasiswa di Australia, tinggal seatap dengan pacar bulenya, Claire, juga punysa perasaan yang tidak jauh beda dengan Nina, merasa bingung dengan tujuan akan tujuan hidupnya.

Percakapan/komunikasi antara mereka berdua yang ditampilkan dalam bentuk e-mail dan chatting, menggambarkan bagaiman dalamnya rasa keputusasaan, ketidakbahagiaan dan kebosanan yang mereka berdua rasakan. Bahkan, begitu putus asanya Nina, sampai pernah membuat rencana 'gila' untuk bunih diri. Kita bisa tersenyum pahit dengan cara penyampaian yang santai, padahal yang sedang dibicarakan adalah rencana bunuh diri.

Sampai pada akhirnya, mereka merasakan suatu ketertarikan, mereka berdua merasa cocok satu sama lain, merasa sudah "menemukan satu sama lain". Akhirnya, timbulah apa yang disebut Yudha dengan 'perselingkuhan rasa', dan jadi perselingkuhan yang sebenarnya.

Nina, pun bercerai dengan suaminya, dan Yudha putus Claire. Mereka memutuskan untuk mencoba 'jalan' bersama.

Tapi ternyata, kecocokan itupun harus berakhir dengan suatu ketidakbahagian. Kesalahan 'kecil' menyebabkan kesalahpahaman, kemudian menjadi pertengkaran, yang berbuntut pada perpisahan, seolah mereka menyadari bahwa ada perbedaan yang cukup prinsip dalam diri mereka.

Percakapan yang lugas dan blak-blakan menjadi kekuatan novel ini. Tapi, seandainya novel ini ditulis dalam bentuk narasi biasa, bisa jadi membosankan. Tulisan dalam bentuk e-mail dan chatting menjadi keunikan tersendiri dari novel ini. Sepintas sempat terpikir, "Jangan-jangan ini memang pengalaman pribadinya Novita, nih.."


-ferina-

Monday, January 17, 2005

From Republika, Sunday Edition

Minggu, 16 Januari 2005

Tidak Semua Penulis Tergoda

Popularitas chicklit dan teenlit ternyata tidak membuat semua penulis tergoda. Setidaknya, begitulah yang coba ditunjukkan Novita Estiti dalam karyanya, Subject:Re. Saat banyak orang berlomba-lomba untuk menulis chicklit, Novita malah mencak-mencak dengan stempel 'chicklit asli buatan Indonesia' yang ada di sampul bukunya.

Sejak awal, Subject:Re, yang diterbitkan Gagas Media, tidak pernah dimaksudkan sebagai chicklit. ''Stempel itu dicantumkan tanpa sepengetahuan saya,'' kata Novita. Menurutnya, seperti dikutip dari blogspotnya, novelnya tidak dapat masuk ke dalam definisi genre chicklit.

Subject:Re bercerita tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan, dengan proporsi yang sama besar. Tidak melulu bercerita tentang tokoh wanitanya. Tokoh wanitanya pun sudah menikah dan memiliki anak. Sedangkan chicklit, salah satu persyaratan utamanya adalah status lajang sang tokoh utama wanita.

Menurut Novita, cara penulisan Subject:Re pun sama sekali tidak dimaksudkan bersifat ringan dan menghibur. ''Dan yang paling utama, cerita ini tidak berkisah semata tentang kehidupan sehari-hari, tapi lebih kepada isu-isu yang mendalam dalam,'' jelasnya.

Menurut Novita, pihak Gagas Media mengakui bahwa stempel tersebut adalah tehnik pemasaran semata. Stempel chicklit diharapkan dapat memacu angka penjualan. Pihak Gagas Media sendiri berjanji tidak akan menyertakan stempel tersebut pada cetakan selanjutnya.

Menurut Novita, penolakannya terhadap stempel tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan citra chicklit ringan. ''Jangan salah, saya suka kok baca chicklit. Saya punya beberapa,'' tuturnya. Ia hanya tak mau mengecilkan sasaran pasarnya. Dengan stempel tersebut, Subject:Re kehilangan beberapa pembeli utamanya.

(mg07)

Sunday, January 16, 2005

Monday, January 10, 2005

Going to Jogja and Solo

Subject: Re: is going to Jogja and Solo from January 10-13.


Wednesday, January 5, 2005

A Review from Djenar Maesa Ayu

Kesan saya tentang novel ini, tepatnya, apa yang terkesan dari apa yang ingin dikomunikasikan oleh penulis dalam novelnya, adalah imajinasi dan realitas. Imajinasi adalah medium yang diciptakan setiap orang untuk keluar atau melarikan diri dari realitas yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Imajinasi adalah harapan. Harapan adalah ilusi tentang berbagai hal yang lebih baik. Tentang berbagai hal yang lebih bahagia. Tapi sejenis barang apakah kebahagiaan itu? Di dalam novel ini berkali-kali kebahagiaan diungkit dan diusut.

Pada akhirnya kebahagiaan digugat, karena kebahagiaan tidak ada, tepatnya, kebahagiaan ternyata adalah sifat imajiner dalam tiap kepala. Bahwasanya realitas tidak mampu mengakomodir imajinasi, alam ide, atau kebahagiaan imajiner, karena dalam dunia bentuk kita semua bertubrukan dengan batasan. Dengan norma. Dengan berbagai kontruksi kekuasaan agama, hukum, dan sebagainya, tentang apa yang baik dan tidak baik. Apa yang benar dan mana yang salah. Sehingga imajinasi menjadi satu-satunya peluang untuk mendekontruksi nilai-nilai yang diseragamkan dalam realitas.

Dunia maya, komunikasi tekstual, adalah simbol imajinasi. Di antara huruf per huruf yang terketik, tersisa ruang kosong untuk berimajinasi, untuk berharap. Sehingga format surat elektronik yang dipilih oleh penulis untuk mengomunikasikan idenya tentang realitas dan imajinasi adalah pilihan yang sangat tepat. Teks adalah imajinasi yang mengejewantah sebagai riil. Teks membuat imajinasi nyata. Teks juga, membuktikan bahwa mayoritas kita tidak mampu menahan ego untuk menyimpan imajinasi tetap pada tempatnya. Ia belum berarti sebelum menjadi nyata, sebelum menjadi teks. Tanpa bentuk, imajinasi hanya akan menjadi milik pribadi si empunya imajinasi. Ia bisa hilang begitu saja, tak terakui oleh realitas sebelum mewujud bentuk. Teks di sini, menjadi satu bukti di mana ego kita begitu ingin mengabadikan imajinasi dengan mentransformasikannya ke dalam dunia nyata.

Ternyata tidak hanya berhenti pada teks. Imajinasi, atau harapan pun masih perlu dijajal dalam bentuk tindakan yang lebih konkrit. Dengan kata lain, kebahagiaan imajiner atau harapan itu, begitu menggiurkan untuk direalisasikan. Yudha dan Nina – dua tokoh dalam novel ini – adalah contoh kasus manusia-manusia korban imajinasi. Korban harapan. Lewat surat elektronik maupun chatting, mereka membongkar sendapan-endapan bawah sadar mereka tentang harapan, dan mengupasnya dengan memaparkan berbagai silsilah mengapa harapan itu mengada.

Tentang Nina kecil yang tak merasa bahagia semasa kanak karena merasa tidak menjadi bagian kebahagiaan orang tuanya, bahkan mungkin, merasa tidak menjadi bagian dari ketidak-bahagiaan oang tuanya. -- “Cita-cita” ayahnya yang hanya ingin hidup bahagia dengan memiliki istri yang baik, dan anak yang manis, mengacu kepada penyeragaman atas ide standar kebahagiaan. Bukankah pencanangan Keluarga Berencana, industri media periklanan, telah mencuci otak masyarakat dengan imaji bahwa keluarga bahagia adalah keluarga yang punya seorang kepala rumah tangga pencari nafkah, istri mengurus urusan rumah, dua anak yang bisa diberi pendidikan sekolah, satu mobil kecil, satu rumah kecil, sehingga jika kurang dari itu konsekwensi yang harus diemban tentunya sensor dari masyarakat, bahwa kita belum menjadi manusia utuh, belum bahagia? Tapi apakah penyeragaman standar ini sudah cukup? Tentu tidak. Manusia butuh lebih dari itu. Karena itu manusia tak pernah berhenti berimajinasi, atau menciptakan kebahagiaan subyektif yang tak sejalan dengan kebahagiaan kolektif.

Tentang Nina yang tidak mendapat “partner intelektual” selain kebaikan dan pengertian belaka dari suaminya. Pun demikian dengan Yudha yang sudah menjalani hidup bersama dengan Clarice (kebangsaan Australia) selama enam tahun tapi tak menemukan kebahagiaan karena tak pernah berhenti mencari akar kebudayaannya. Tentang pekerjaan. Tentang cita-cita menjadi penulis. Bahkan hal “remeh temeh” semisal bunuh diri. Hal-hal yang menjadi ringan dibicarakan ketika ia hanya sebatas teks. Hal-hal yang tak mutlak dipertanggung-jawabkan karena mereka terpisah jarak, di sisi lain, tersatukan jarak.

Betapa imajinasi dan realitas adalah dua hal yang terpisah. Namun mereka mustahil untuk dipisahkan. Realitas memicu imajinasi. Imajinasi balik memicu realitas. Selamanya berputar di satu titik yang itu-itu juga. Yudha dan Nina sama-sama merasa tak cukup dengan apa yang mereka terima dalam realitas. Mereka berimajinasi. Mereka sama-sama menciptakan harapan baru. Harapan-harapan itu mereka realisasikan menjadi bentuk teks (bertukar surat elekronik dan chatting),hanya dengan cara itu masing-masing mereka bisa mengerti harapan masing-masing sehingga muncullah rasa senasib, rasa saling menemukan. Setelah proses ini, mereka kembali mengusung realitas (rasa senasib dan saling menemukan) ke dalam imajinasi, mengamini bahwa yang mereka rasakan begitu riil ini adalah memang riil. Lantas mereka ingin membuktikan dengan mengusung imajinasi kembali ke dalam realitas dengan menjalaninya, menghadapinya. Mereka bertemu, berselingkuh, dan bercinta. Setelah imajinasi berbalik ke realitas, ternyata realitas tidak memberi apa yang selama ini terbangun dalam imajinasi mereka. Bahwa realitas ini ternyata tidak sebatas kata-kata atau teks, tapi realitas adalah bentuk, adalah dunia materi, di mana mereka harus berhadapan dengan nominal-nominal, dengan barang-barang belanjaan, hubungan mereka pun kandas. Kebahagiaan imajiner itu tetap satu langkah di depan mereka.

Saya rasa Novita Estiti sangat sadar fungsi format atau bentuk. Bahasa ringan dengan berbagai istilah gaul ia gunakan untuk menunjang bentuk surat elekronik. Bentuk surat elekronik ia gunakan untuk menunjang tema cerita, atau simbol realitas dan imajinasi. (Komputer, teks, adalah perangkat, adalah bentuk. Tekhnologi menghadirkan dunia maya. Ia menyatukan jarak. Jarak adalah ruang imajinasi). Maka lepas dari format bahasanya yang gaul, atau tema perselingkuhan yang sudah sangat lazim, menurut saya novel ini berbicara lebih dari semua itu. Ia bicara tentang kegamangan kita semua yang terhimpit di antara dua dunia, dua alam, alam ide dan alam bentuk. Terombang-ambing antara dunia maya dan dunia nyata. Kekecewaan kita semua terhadap rasio yang tak rasional. Dan harapan kita untuk tetap hidup sekaligus mati. Untuk terjaga sekaligus bermimpi.

DMA, Jakarta 14 Desember 2004 12:13:07 PM


-- THANK YOU VERY MUCH! --

Saturday, January 1, 2005

A Review in PSTC mailing list

From: "Paulius"
Date: Wed Dec 29, 2004 10:31 pm
Subject: Tentang Subject: Re:

I couldn't enjoy it.
En no... bukan karena isinya rada blak-blakan.
Bukan karena dia nggak happy ending (geez it didn't even have a happy beggining). Nggak juga karena most of what's in there is both so ugly and so true (least to me). Tapi semata-mata (mungkin juga udah pada ngeh) karena when it comes to story gua ini konservatif.

To me story is about plot. There's a beggining, klimaks, antiklimaks dan ending. Anything less is less enjoyable to me. En Subject: Re: totaly screw that up for me. Mbak Novita putar balik semuanya. Percakapan yang biasanya buat 'menerangkan' plot jadi bagian utama. Plot yang biasanya bagian utama jadi 'background'... dikasih tau sambil lalu. Seperlunya.

Mula-mula setelah gua menyesuaikan diri dengan formatnya gua bisa enjoy. Ada karakter lain ada kejadian-kejadian yang lumayan kontinu. Tapi makin jauh ceritanya mengkonvergen cuma ngomongin dua tokoh utama itu doang. En meski cara bertuturnya begitu alamiah begitu luring the whole thing talk about the same thing over and over and over again. They way they pity themselves made me sick. Was so sick and tired I could feel the character's boredom... unhappiness... guilt.

It made me unhappy and bored. Tapi justru karena itu sisa tulisannya jadi make sense. The suicide talk... the affair... the fight... the self-punishing...

*sigh*

This is definitely... definitely NOT chicklit.

Hal lain yang gua sadari...
Target audience buku ini sempit. Sempit sekali. Nggak heran banyak tanggapan ngaco. Tambah kacau lagi gara-gara cap chicklit.

Targetnya bukan by usia atau pekerjaan apalagi budaya. It's about that special type of people who get everything easy in the world.
Orang-orang yang nggak pernah dapet masalah sehingga selalu mengejar tantangan yang lebih dan lebih. Orang-orang yang have too much time at hands they try to make sense out of EVERY thing. Yang menyakiti dirinya sendiri untuk membuktikan mereka masih hidup.

Mereka nggak kaya tapi nggak pernah miskin.

Mereka nggak berprestasi tapi nggak pernah gagal.

Mereka nggak cakep tapi ada saja yang nguber.

Mereka normal tapi nggak pernah "fit in".

Mereka tertawa tapi nggak bahagia.

They are the kind that easily get what they want... they no longer know what they really want.

If you know entah ngalami sendiri atau pernah kenal orang kayak gitu... THEN you won't kasih komentar yang nggak-nggak.

Congratulation Mbak Novita. I couldn't enjoy it but it was one hell of a ride. Kayak roller coaster yang gua benci tapi bakal gua bangga-banggain ke yang belum pernah naik...

Truly insightful. Much needed reminder...

Forever insane,
pAUL

-- THANK YOU VERY MUCH! --