Wednesday, January 5, 2005

A Review from Djenar Maesa Ayu

Kesan saya tentang novel ini, tepatnya, apa yang terkesan dari apa yang ingin dikomunikasikan oleh penulis dalam novelnya, adalah imajinasi dan realitas. Imajinasi adalah medium yang diciptakan setiap orang untuk keluar atau melarikan diri dari realitas yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Imajinasi adalah harapan. Harapan adalah ilusi tentang berbagai hal yang lebih baik. Tentang berbagai hal yang lebih bahagia. Tapi sejenis barang apakah kebahagiaan itu? Di dalam novel ini berkali-kali kebahagiaan diungkit dan diusut.

Pada akhirnya kebahagiaan digugat, karena kebahagiaan tidak ada, tepatnya, kebahagiaan ternyata adalah sifat imajiner dalam tiap kepala. Bahwasanya realitas tidak mampu mengakomodir imajinasi, alam ide, atau kebahagiaan imajiner, karena dalam dunia bentuk kita semua bertubrukan dengan batasan. Dengan norma. Dengan berbagai kontruksi kekuasaan agama, hukum, dan sebagainya, tentang apa yang baik dan tidak baik. Apa yang benar dan mana yang salah. Sehingga imajinasi menjadi satu-satunya peluang untuk mendekontruksi nilai-nilai yang diseragamkan dalam realitas.

Dunia maya, komunikasi tekstual, adalah simbol imajinasi. Di antara huruf per huruf yang terketik, tersisa ruang kosong untuk berimajinasi, untuk berharap. Sehingga format surat elektronik yang dipilih oleh penulis untuk mengomunikasikan idenya tentang realitas dan imajinasi adalah pilihan yang sangat tepat. Teks adalah imajinasi yang mengejewantah sebagai riil. Teks membuat imajinasi nyata. Teks juga, membuktikan bahwa mayoritas kita tidak mampu menahan ego untuk menyimpan imajinasi tetap pada tempatnya. Ia belum berarti sebelum menjadi nyata, sebelum menjadi teks. Tanpa bentuk, imajinasi hanya akan menjadi milik pribadi si empunya imajinasi. Ia bisa hilang begitu saja, tak terakui oleh realitas sebelum mewujud bentuk. Teks di sini, menjadi satu bukti di mana ego kita begitu ingin mengabadikan imajinasi dengan mentransformasikannya ke dalam dunia nyata.

Ternyata tidak hanya berhenti pada teks. Imajinasi, atau harapan pun masih perlu dijajal dalam bentuk tindakan yang lebih konkrit. Dengan kata lain, kebahagiaan imajiner atau harapan itu, begitu menggiurkan untuk direalisasikan. Yudha dan Nina – dua tokoh dalam novel ini – adalah contoh kasus manusia-manusia korban imajinasi. Korban harapan. Lewat surat elektronik maupun chatting, mereka membongkar sendapan-endapan bawah sadar mereka tentang harapan, dan mengupasnya dengan memaparkan berbagai silsilah mengapa harapan itu mengada.

Tentang Nina kecil yang tak merasa bahagia semasa kanak karena merasa tidak menjadi bagian kebahagiaan orang tuanya, bahkan mungkin, merasa tidak menjadi bagian dari ketidak-bahagiaan oang tuanya. -- “Cita-cita” ayahnya yang hanya ingin hidup bahagia dengan memiliki istri yang baik, dan anak yang manis, mengacu kepada penyeragaman atas ide standar kebahagiaan. Bukankah pencanangan Keluarga Berencana, industri media periklanan, telah mencuci otak masyarakat dengan imaji bahwa keluarga bahagia adalah keluarga yang punya seorang kepala rumah tangga pencari nafkah, istri mengurus urusan rumah, dua anak yang bisa diberi pendidikan sekolah, satu mobil kecil, satu rumah kecil, sehingga jika kurang dari itu konsekwensi yang harus diemban tentunya sensor dari masyarakat, bahwa kita belum menjadi manusia utuh, belum bahagia? Tapi apakah penyeragaman standar ini sudah cukup? Tentu tidak. Manusia butuh lebih dari itu. Karena itu manusia tak pernah berhenti berimajinasi, atau menciptakan kebahagiaan subyektif yang tak sejalan dengan kebahagiaan kolektif.

Tentang Nina yang tidak mendapat “partner intelektual” selain kebaikan dan pengertian belaka dari suaminya. Pun demikian dengan Yudha yang sudah menjalani hidup bersama dengan Clarice (kebangsaan Australia) selama enam tahun tapi tak menemukan kebahagiaan karena tak pernah berhenti mencari akar kebudayaannya. Tentang pekerjaan. Tentang cita-cita menjadi penulis. Bahkan hal “remeh temeh” semisal bunuh diri. Hal-hal yang menjadi ringan dibicarakan ketika ia hanya sebatas teks. Hal-hal yang tak mutlak dipertanggung-jawabkan karena mereka terpisah jarak, di sisi lain, tersatukan jarak.

Betapa imajinasi dan realitas adalah dua hal yang terpisah. Namun mereka mustahil untuk dipisahkan. Realitas memicu imajinasi. Imajinasi balik memicu realitas. Selamanya berputar di satu titik yang itu-itu juga. Yudha dan Nina sama-sama merasa tak cukup dengan apa yang mereka terima dalam realitas. Mereka berimajinasi. Mereka sama-sama menciptakan harapan baru. Harapan-harapan itu mereka realisasikan menjadi bentuk teks (bertukar surat elekronik dan chatting),hanya dengan cara itu masing-masing mereka bisa mengerti harapan masing-masing sehingga muncullah rasa senasib, rasa saling menemukan. Setelah proses ini, mereka kembali mengusung realitas (rasa senasib dan saling menemukan) ke dalam imajinasi, mengamini bahwa yang mereka rasakan begitu riil ini adalah memang riil. Lantas mereka ingin membuktikan dengan mengusung imajinasi kembali ke dalam realitas dengan menjalaninya, menghadapinya. Mereka bertemu, berselingkuh, dan bercinta. Setelah imajinasi berbalik ke realitas, ternyata realitas tidak memberi apa yang selama ini terbangun dalam imajinasi mereka. Bahwa realitas ini ternyata tidak sebatas kata-kata atau teks, tapi realitas adalah bentuk, adalah dunia materi, di mana mereka harus berhadapan dengan nominal-nominal, dengan barang-barang belanjaan, hubungan mereka pun kandas. Kebahagiaan imajiner itu tetap satu langkah di depan mereka.

Saya rasa Novita Estiti sangat sadar fungsi format atau bentuk. Bahasa ringan dengan berbagai istilah gaul ia gunakan untuk menunjang bentuk surat elekronik. Bentuk surat elekronik ia gunakan untuk menunjang tema cerita, atau simbol realitas dan imajinasi. (Komputer, teks, adalah perangkat, adalah bentuk. Tekhnologi menghadirkan dunia maya. Ia menyatukan jarak. Jarak adalah ruang imajinasi). Maka lepas dari format bahasanya yang gaul, atau tema perselingkuhan yang sudah sangat lazim, menurut saya novel ini berbicara lebih dari semua itu. Ia bicara tentang kegamangan kita semua yang terhimpit di antara dua dunia, dua alam, alam ide dan alam bentuk. Terombang-ambing antara dunia maya dan dunia nyata. Kekecewaan kita semua terhadap rasio yang tak rasional. Dan harapan kita untuk tetap hidup sekaligus mati. Untuk terjaga sekaligus bermimpi.

DMA, Jakarta 14 Desember 2004 12:13:07 PM


-- THANK YOU VERY MUCH! --

No comments: