Sunday, February 13, 2005

An Article in Sriti.com

Apakah Anda pernah membayangkan, buku yang ditulis selama berbulan-bulan itu ternyata jadi laris manis, dipuja-puji banyak kritikus. Kalau pertanyaan ini mudah dijawab, bagaimana dengan pertanyaan lain: pernahkan membayangkan buku yang berbulan-bulan ditulis itu ternyata jadi kontroversi. Wah, yang ini pasti harus ditanya lanjutan pertanyaannya, kontroversi yang bagaimanakah itu? Kalau cuma salah cover atau menolak dikategorikan genre tertentu, apa jadinya?

Kontroversi itu memang bisa diciptakan, bisa juga lahir begitu saja secara natural. Apapun alasannya, dengan kotroversi buku jadi menarik untuk disimak. Baru-baru kali ini hangat sekali perbincangan soal pe-label-an buku milik Novita Estiti atas bukunya yang berjudul Subject: Re dari penerbit GagasMedia tahun terbitan, November 2004. Kontroversi itu terjadi lantaran penulisnya menolak dengan label bertuliskan “ChickLit Asli Buatan Indonesia”. Kesannya sepele, namun menyimpan banyak tanda tanya dan gugah cerita yang masih terselubung hingga saat ini.

Dalam sebuah penjajakan reportase, kami dari Sriti.com bisa mengorek segala keterangan dari penulisnya, Novita Estiti. Hanya dengan sejumlah cara kami ‘tewas’ tak sanggup mendapatkan satu pernyataanpun dari pihak penerbitnya, GagasMedia. Kami tak akan menyatakan mereka ‘ngumpet’ dari kasus ini; karena itu begitu menyesatkan pembaca, percayalah, yang kami tujukan tadinya hanya keterangan dua sisi yang sebenarnya akan sanggup membuat artikel ini mengkilat. Sayang, kami terlalu payah…

Berikut adalah sejumlah dialog yang HANYA kami peroleh dari pihak penulisnya, Novita Estiti. Semoga ada semacam pencerahan kecil dari belibetnya kasus pelabelan ini. Anda bisa menganggap ini pernyataan pribadi penulisnya, tapi, kalau teliti lagi, ini semacam stimulus untuk lebih akrab dengan persoalan perbukuan saat ini, kalau penulis kadang punya posisi yang sangat lemah.

Akhir kata, selamat menikmati.

***

Keterangan: Q=Pertanyaan, A=Jawaban


--------------------------------------------------------------------------------
1) Bisa diceritain singkat secara kronologisnya, saat Novita menyerahkan naskah ke penerbit?
A: Setelah naskah selesai, saya menelepon GagasMedia dan menawarkan naskah pada mereka. Waktu itu saya berhubungan dengan Bpk. Tanudi dari Agromedia, salah satu divisi di penerbitan tersebut. Kemudian Bpk. Tanudi meminta saya mengirimkan naskah. Tanggapan dari GagasMedia cukup cepat, tidak sampai sebulan kemudian mereka menghubungi saya. Saya bertemu dengan pemimpin redaksi penerbit, untuk membicarakan masalah kontrak, editing, dan lain-lain. Dari meeting-meeting awal, saya sudah beberapa kali menegaskan bahwa karya ini bukan chicklit.

2) Apakah ada pasal dari perjanjian/kontrak yang menjadi dasar ‘gugatan’ Novita sebagai penulis menolak pe-label-an ini?
A: Dalam kontrak terdapat sebuah pasal yang berbunyi:

“Sebelum cetak perbanyak (massal), PIHAK PERTAMA wajib meneliti terlebih dahulu naskah bersih hasil suntingan/cetak/coba/semacamnya sekurangnya satu kali dan kemudian membubuhi persetujuan cetaknya. Dan apabila oleh karena satu alasan PIHAK PERTAMA tidak dapat melakukannya kewajiban tersebut maka PIHAK KEDUA dengan itikad baik akan melaksanakan sendiri hal-hal tersebut. Kondisi ini selain untuk efisiensi waktu juga menghemat biaya penerbitan naskah tersebut.”

Dalam kasus saya, tidak sekalipun saya pernah melihat hasil suntingan akhir (last proof) sebelum naik cetak. Padahal sewaktu menyerahkan naskah, beberapa kali saya menegaskan bahwa saya harus melihat dahulu last proof tersebut.

3) Q. kapan pertama kali Novita melihat ada label chicklit dalam buku jadi?
A: Saya baru tahu adanya label tersebut sewaktu mengambil buku di distributor. Jadi cukup merupakan ‘kejutan’ buat saya saat membuka bungkus coklat dan menemukan label tersebut. Desain cover memang pernah diperlihatkan, karena desain seperti itu juga merupakan kompromi saya dengan penerbit (saya menyatakan bahwa saya tidak ingin cover warna-warni yang bahagia khas chicklit). Tetapi pada desain cover yang diperlihatkan pada saya -dan saya setujui- tidak ada label chicklit atau label apapun. Tambahan tersebut baru dilakukan penerbit kemudian, dan seperti yang saya jawab di point 2, last proof tidak pernah diperlihatkan kepada saya.

4) Q: Ketika Novita ‘protes’ apa tanggapan penerbit?
A: Setelah melihat label tersebut, saya segera mengadakan pertemuan dengan penerbit untuk membicarakan masalah tersebut. Selain label chicklit, ada beberapa hal yang menjadi ganjalan, ada beberapa kesalahan editing dan sensor pada beberapa kata. Menurut penerbit, sensor tersebut perlu dilakukan untuk memastikan bahwa karya ini bisa diterima di toko buku manapun. Kemudian soal label, mereka menjelaskan bahwa ini semata-mata strategi marketing. Saya mengerti dasar-dasar argumentasi ini, walau tidak menyetujuinya. Yang menjadi masalah adalah, karena saya tidak pernah berkesempatan melihat last proof, maka saya jadi tidak punya kesempatan untuk berpikir-pikir.

4) Q.Menurut Novita apa dengan label tersebut akan merugikan?
A: Kerugian label chicklit adalah hilangnya sebagian (besar) target pembaca saya. Karena konotasi chicklit yang terutama berarti bacaan wanita, tentu banyak pembaca pria yang enggan membaca atau bahkan sekedar menyentuhnya. Chicklit juga berkaitan erat dengan bacaan ringan, sedangkan Subject: Re -pada pendapat saya- sama sekali bukan bacaan ringan (saya rasa pendapat ini benar, karena Subject: Re bicara banyak soal kematian, bunuh diri, ketidakbahagiaan, dan sisi-sisi buruk kehidupan). Jadi mereka yang membeli buku ini dengan harapan mendapatkan bacaan ringan menghibur, akan kecewa dan menganggap novel Subject: Re: adalah chicklit yang buruk (yang tentu saja benar). Hal ini juga dibenarkan oleh seorang pembaca saya (Julian, Rizal - red), seorang pria yang hampir urung membeli novel ini karena melihat label chicklit-nya.

5) Q: Atau, ada keuntungan yang ternyata dirasakan setelah ada label itu?
A: Keuntungannya, jika bisa disebut demikian, mungkin datang setelah masalah ini saya angkat ke berbagai media. Karena kebetulan saya menggemari teknologi, saya membuat blog sendiri untuk novel ini berisi cuplikan, komentar, berita, dan lain-lain. Di situ saya juga menulis tentang masalah pe-label-an ini. Saya juga mengirim email ke beberapa milist, serta mengirimkan buku beserta press release berisi penjelasan saya ke beberapa media. Tentu saya sadar bahwa ini bisa jadi ‘black marketing’ di mana saya menggunakan kontroversi atas sesuatu untuk mendorong publikasi novel. Tapi saya pikir, daripada novel saya dibiarkan ‘tersesat’ di rak chicklit di toko buku, lebih baik saya sendiri yang berusaha melakukan sesuatu. Dengan beberapa cara yang saya lakukan di atas, ternyata cukup banyak tanggapan yang masuk baik melalui email pribadi maupun ke blog tersebut. Ada juga yang tertarik membeli setelah membaca ’ribut-ribut’ ini.

6) Q: Mengapa Novita bersikeras tidak mau ini di-label-kan sebagai chicklit?
A: Saya tidak mau buku ini dilabeli chiklit karena memang ini BUKAN chicklit. Tidak ada trauma apapun terhadap chicklit. Saya mengakui bahwa saya bukan penggemar chiklit, walau membaca juga Shopaholic-nya Sophie Kinsella. Tetapi ketidakgemaran saya kepada chicklit adalah semata-mata soal selera saja. Definisi saya pada novel ini ya novel fiksi saja. Mungkin -buat beberapa orang- kurang spesifik, tetapi memang demikian halnya. Saman itu novel fiksi, Larung, Jalan Tak Ada Ujung, Dadaisme, Catcher in The Rye, semua itu definisinya novel fiksi saja.

7) Q:Apakah Novita merasa terjebak dengan kasus pe-label-an ini?
A:Saya mengakui sedikit merasa terjebak pada posisi saya. Penerbit memang sudah menawarkan untuk mengganti desain cover secara keseluruhan pada cetakan kedua dan seterusnya. Mereka tetap bertahan dengan (sejumlah) sensor, kali ini karena alasan moralitas penerbit (yang membuat saya bertanya-tanya juga, kalau memang demikian moralitasnya, seharusnya dari awal jangan menerima naskah saya lalu menyensornya tanpa pemberitahuan).

8) Q:.Menurut Novita,apakah penulis sangat lemah/ rentan di dalam kasus ini?
A: Saya tidak tahu bagaimana di penerbitan lain. Tetapi dalam hal ini, saya memang merasa posisi saya sebagai penulis cukup lemah. Saya tidak diberi kesempatan melihat last proof sehingga terjadi hal-hal ini.

10) Q: Selama proses ‘roadshow’ ke daerah-daerah, apa ada tanggapan dari pembaca soal pe-lebel-an itu..?
A: Saat roadshow ke daerah-daerah, saya membiasakan diri untuk memberikan press release mengenai Subject: Re bukan chicklit kepada audience. Hal ini terutama dilakukan di Yogyakarta dan Solo. Sewaktu di Bandung, saya baru melakukannya secara verbal saja. Sewaktu di Solo, ternyata ada beberapa orang yang sudah membaca, dan mereka setuju bahwa novel ini tidak bisa dilabeli chicklit.

***

Dewi Rokhimawati, alumnus Psikologi UI, Pecinta Buku, Tinggal di Jakarta.

Dalam kesempatan mendatang, rekan Sjaiful Masri akan lebih menyoroti isi buku dengan gaya yang lebih segar, dan tentunya hanya ada di Sriti.com.

Lebih lanjut, silakan masuk ke : http://subjectre.blogspot.com

Friday, February 11, 2005

More Comments from Readers

"... if the chick lit stamp is a marketing gimmick, then it did a wonderful job of shoo-ing me away at first (then again, i guess I'm not the target market). But the line at the Gramedia cashier was so long that, out of boredom, I picked up the book and read the comments on the back cover.

Thank God I did, and thank God I bought and read the book. Just wanna say thank you for this brave, honest, and VERY relatable piece of work. Really, I've never found a story and characters that I can relate to THIS much in a long, long time. I'm telling you, I can relate to your story and your characters even to the smallest word. There are words in your book that I remember thinking them. Exactly word by word...."
-- from Rizal (by email)

"WHAT A NICE NOVEL!!! Dalemmmm banget... Tapi mnurut saya, novel ini realita banget kok. Memang bener, terkadang ada org yg takut akan dirinya sendiri, kejujuran akan dirinya, jiwanya...."
-- from Arien (by email)

"All my life there's only one book that can make my eyes full of tears, yours. It reflects my deepest thought of life itself."
-- from Danni Junus (by sms).

"love your book
thank you for being so bluntly honest
thank you for asking all those questions outloud
and
thank you for not trying to answer them for us."
-- from anita (by email)

"I don't usually buy your kind of writings, but I find it 'devastatingly' beautiful, honest and so everyday-life.....Bisa aja gw yg jadi si 'Yudha', tapi ya ndak se-miserable dia sih...."
-- from Benny (by Friendster)

"I love it. I simply do. The way you tell the stories through the emails and chats of two people... is just amazing. Sometimes you don't know how much those short conversations over emails and chat can and can't convey. It gives the illusion that you know someone, yet not knowing that person. And also the way you tell it, make you question whether the lives you read are yours and those related to you, or only fictions. Or am I actually reading my life?"
-- from Meta (by email).

"...membaca novel anda, saya seperti berperang dengan diri sendiri. antara ingin menaruhnya di sudut rak buku saya, atau melahapnya sampai tuntas. untungnya, keinginan kedua yg menang. mungkin, saya termasuk orang yang tidak bahagia tetapi pura-pura bahagia. saya bahagia--what a beautiful lie!"
-- from Windy (by email)