Sunday, June 26, 2005

Subject: Re: di mana letak kebahagiaan?

Ree's review for SUBJECT: RE:

Beberapa bulan lalu aku tidak tertarik membelinya. Mungkin karena ada label chiclit-nya ya, jadi takut ceritanya biasa aja. Pan chiclit-chiclit di indonesia mah suka ngawang-ngawang…ga pake riset dan setting yang jelas. Tapi pas aku menemukan sebuah blog berwarna ungu yang menarik milik seseorang, aku baru tahu kalau didalamnya ada archive, review dan comment tentang sebuah novel. Wah, tenggelam nih baca semuanya sampai-sampai kerjaan gak selesai.Judul novelnya, Subject: Re:

Tapi kini aku menamakannya (belum atas ijin penulis)

Subject: Re: dimana letak kebahagiaan?

Ada satir dan ocehan-ocehan sinis, namun tetap menyimpan kekonyolan dan selentingan black humor yang menetralisir atau juga malah bisa memperparah tema novel ini. Memang untuk menetralisir ungkapan-ungkapan sinis, kadang-kadang kita butuh menjarakinya sejenak dengan humor dan kekonyolan agar setidaknya kamu ini bukan orang yang pathetic amat. Ah aku jadi sok sinis nih. Hehe. Selentingan humor ini mungkin bisa menjadi anti-depressant yang manjur sesaat di saat kamu lelah mengeluh. Intinya, jangan anggap seriuslah…namanya juga cerita…yuk kita bedah novel si purple yang super ini. Tentunya dari subjektivitas aku ya.

Hm…mulai dari mana ya Nov?


Ketika negativitas satu bertemu dengan negativitas lainnya, tinggal menentukan siapa yang lebih lemah dan siapa yang lebih kuat menghadapi ketidak- bahagiaannya masing-masing.

Yang pasti aku suka sekali cara Novita merentangkan setiap kesadarannya tentang ketidakbahagiaan. Percakapan-percakapan brilian sekaligus konyol antara Yudha dan Nina mampu membuatku bisa ikut hanyut dalam ketidakbahagiaan yang mengibakan. Percakapan yang dikemas online ini jadi seperti chatters yang menghinggapi pribadi setiap manusia yang rumit. Begitulah orang rumit, selalu mempertanyakan, berusaha untuk selalu menjadi objektif, dan terkadang terpeleset karena bahasa(kata-kata) dan pikiran bisa saling mengkhianati.

Struktur novel ini pun cukup nyaman dibaca, walaupun dikemas ala online messenger-an, toh tidak mengganggu keutuhan cerita. Malahan semakin melebar dan melengkapi. Tidak seperti novel-novel Indonesia berfragmen lainnya yang kadang bikin keutuhan cerita jadi bolong. Novita secara gamblang bisa mengungkapkan kenaifan Nina dan Yudha, tentang the last resort yang konyol : cita-cita untuk bundir, tentang mengeluh sampai bosan, tentang pelarian dan pencarian mencapai kebahagiaan sebenarnya.

Lelah membacanya? Tidak, malah hanyut dan sempat terukir di bibirku, “sial, kena nih”.

Mungkin saking banyak yang kena, jadinya aku hanya bisa mengutip peragraf2nya. Juga karena kata-katanya begitu jelasnya mendefinikan arti dari semua unsur dan akibat ketidakbahagiaan.

Tentang Lari Lari dan Lari
OTB= orang yang selalu berlari mencari-cari alasan dari pelariannya dan berlari untuk mencari-cari kesamaan ketidakbahagiaannya dengan ketidakbahagiaan orang lain dengan maksud agar ia tidak menjadi seorang picarresque yang kesepian?
Surat Yudha kepada Nina:
Tapi terkadang, manusia ingin juga bersetia. Dan itulah sebabnya, pasangan-pasangan menua bersama, memutih rambut bersama, dan menatap masa lalu dengan mata berkaca-kaca. Karena memang hidup itu membosankan, sedangkan yang lain hanyalah pelarian. Dan manusia terlalu lemah untuk hidup selalu dalam pelarian. Seperti kamu, aku juga lelah berlari, dan berharap dengan begitu hidup bisa menjadi lebih mudah. (E, 78-79)

Tentang sarcastic
OTB = orang yang selalu menilai apa saja dengan kedua sisi yang berbeda yang memihak pada kesinisan dan ambivalensi?
Kata-kata Nina tentang kemungkinan:
Siapa tahu, nanti kutemukan cara untuk tetap bahagia sekaligus kembali menderita.(E, 81)

OTB juga = orang yang bingung memilih karena pasrah, merasa semua akan berakhir sama yaitu menuju ambang ketidakbahagiaan?
Kata-kata Nina tentang selingkuh dengan Yudha:
Bukankah dalam setiap affair, selalu ada harapan yang dimatikan, dan ada harapan baru dimunculkan, walau terkadang cuma palsu. (E, 181)

Tentang memagari diri karena takut
OTB = orang yang takut sakit saat wilayah dirinya tak bisa berkompromi dengan yang lain karena ia tidak memahami bahwa sakit juga bagian dari hidup, selain nyaman?
Puisi Nina:
Karena aku tahu
Tak mungkin mencegah orang lain
Menyakiti hatiku
Maka
Aku mencegah hatiku
Dari merasakan sakit
Dan
Mencegah
Hatiku dari merasakan
Apa yang sedang kurasakan saat ini (E, 192)

Tentang tidak mencintai diri sendiri
OTB = orang yang suka menikmati ketidakbahagiaannya?
Yudha kepada Nina:
Kenapa ada orang yang dilahirkan dengan kesadaran bahwa mungkin, seperti kamu juga, tidak pernah merasa bahagia. Aku juga sadar aku justru malah menikmati ketidakbahagiaan.

Tentang menghayal bundir
OTB = orang yang selalu berpikir “what if”?
Nina berkhayal:
Kadang gue membayangkan lagi berendam di bathtub, lalu mengiris pergelangan gue pake cutter, aneh, rasanya nggak sakit tapi dingin. Gue mau masukin tangan ke dalam bathtub spy darahnya mengembang spt awan merah tapi tangan gue nggak bisa digerakkin. Darahnya menetes ke lantai kamar mandi, menenggelamkan seekor semut. Trus gue sadar wah gue nggak punya bathtub. (E, 211)

Tentang mendefinisi ketidakbahagiaan dengan bahasa
OTB = orang yang ucapannya malah semakin menjelaskan ketakutannya.
Aku mulai tertegun ketika membaca kata-kata Yudha mengenai bahasa dan dunia. Salah satu cara mengungkap-ungkap berbagai alasan dan ekspresi ketidakbahagiaan adalah dengan kata-kata, apakah itu bisa membuat seseorang bisa merasa lebih baik karena sudah membuangnya ke dalam tulisan/ucapan, atau malah….memperparah sudut pandangmu tentang dunia?
Surat Yudha kepada Nina:
Dunia bisa menjadi lebih indah, lebih menyadihkan, lebih sinis, lebih menakutkan, tergantung kata-kata yang kita gunakan. Tapi nyatanya, kenyataan yang kita ubah itu, ternyata hanya berubah di dalam pikiran kita sendiri, bukan? Kenyataan masih tetap sama, kering, kejam, dan membosankan. Dan mungkin karena itu kita berusaha menyaratinya dengan makna melalui bahasa. (E, 232)

Tentang Negatif vs Negatif
Nina si negatif satu, Yudha si negatif dua. Ketika keduanya berhasil menjadi sepasang kekasih yang sudah bisa dinyatakan legal, arti kebahagiaan yang selama ini mereka cari ternyata tidak seindah yang mereka pikir. Ketika negativitas satu bertemu dengan negativitas lainnya, tinggal menentukan siapa yang lebih lemah dan siapa yang lebih kuat menghadapi ketidakbahagiaanya masing-masing. Ternyata menghadapi ketidakbahagiaan berdua itu malah lebih ribet karena toh, ketidakbahagiaan itu bukan untuk dibagi-bagi tapi dimiliki secara privat sebagai hak yang tidak dapat diganggu gugat. (uh, ribet ya? Ga ngarti ya? Ya baca aja di meeting point nomor 7)

Tentang The untamed and tamed Fear
Sampai bab meeting point nomor 8, aku mulai bertanya-tanya, benarkah untuk menjadi bahagia adalah dengan menaruh ketakutan, harapan, keluhan kepada orang lain yang peduli dengan kita? Yang pasti, ketika aku membaca paragraf ini, aku juga berpikiran bahwa orang lain selain kita memang tidak berhak ikut memiliki ketakutan-ketakutan kita, kecuali bila orang itu memang begitu kuatnya mempertahankan ketulusannya atau orang itu terlalu bodoh menjadi recycle bin (ih…apa bedanya ya? Beda ah…ya kan? Ya kan!). Dan Harry, suami Nina menurut Yudha adalah orang yang mampu menghadapi ketakutan-ketakutan Nina:

…ia tidak hanya tidak takut dengan kegilaan-kegilaanmu, tetapi juga menerimanya dan bahkan mungkin memujanya….aku tahu kamu juga tidak bisa berbahagia hidup bersama orang yang tidak mengerti kamu. Tapi nampaknya kamu membutuhkan orang yang mencintaimu dengan semua kegilaanmu seperti Harry, dan juga mengerti kamu seperti aku mengerti dirimu. Dan orang itu bukan aku. (E, 281)

Melalui analogi penaklukannya terhadap si mini, anjing peliharaannya, Nina pun membalas ini dengan pendapatnya tentang bagaimana kegilaan dan ketakutan seseorang hanya bisa dihadapi oleh seseorang yang tidak punya ketakutan sama sekali:
Aku mengulurkan tangan dan ia mencoba menggigitnya, ia menggonggong semakin keras, terkencing-kencing dan terberak-berak saking takutnya. Aku tetap mengulurkan tangan, menyentuhnya, ia menggigit tanganku, tapi gigitannya bahkan terlalu lemah untuk menggores kulitku. Kutarik dia ke dekatku, ia meronta-ronta tidak mau. Tetapi ia kupeluk, kutempelkan bibir di daun kupingnya yang seperti beludru,…. Lalu aku duduk di kursi dan menaruhnya di pangkuanku, memegangnya erat-erat agar ia tak meloncat pergi. Kurasakan tubuhnya tegang di bawah tanganku, makin lama makin melemas. Ia tertidur lama sekali. Aku ingin sekali menjadi Mini. (E, 286)

Subject:Re: Dimana letak kebahagiaan?
Sampai hampir akhir novel ini, aku bisa menyimpulkan bahwa letak kebahagiaan adalah saat kita menemukan kebahagiaan bukan dari orang lain. The concept of happiness is not about being completed by other. Dan ini tertuang dari email Yudha si negatif dua kepada Nina si negatif satu:
Nina, kalau aku tidak bahagia, itu semua sama sekali tak ada hubungannya denganmu. Kebahagiaan adalah tanggung jawab masing-masing. Aku hanya menyadari bahwa tidak mungkin aku bisa membahagiakan orang lain jika aku sendiri tidak merasa bahagia. (E, 282)

Jadi...?
Mencari-cari alasan dibalik pertanyaan tentang ketidakbahagiaan hanyalah salah satu cara Nina dan Yudha untuk mencari kebahagiaan. Tapi tidak semudah itu, ternyata ketidakbahagiaan adalah suara hati seseorang yang hanya bisa dihadapi dengan caranya sendiri.
Seringkali ada orang yang kesannya terlalu mendramatisir/meromantisasi ketidakbahagiaannya. Tapi ternyata seseorang itu tidak setidakbahagia yang sering dibayangkannya. The negative chatter akan selalu merenggut tapi saat yang sama, kenapa gak ditampolin aja dengan ketidakseriusan. Surat terakhir Yudha ini menarik garis merah dari semua lembaran keluhan ketidakbahagiaannya, bahwa kebahagiaan sebenarnya memang tidak ada karena bahagia itu bukan berarti sebuah karunia, melainkan sebuah usaha untuk menghadapi ketidakbahagiaan. Ini semua hanya sebuah cerita betapa naif-nya seseorang melihat sebuah kebahagiaan. Pada akhirnya, menjadi bahagia atau tidak, adalah sebuah pilihan.

-- THANK YOU VERY MUCH! --

No comments: