Monday, November 1, 2004

Bab Empat Sebuah Novel

From: superpurple@luvmail.com
To: magneticfields@luvmail.com
Subject: Re:
Date: Sat, 07 Feb 2004 06:45 PM


IV. Tangis Bayi dan Salak Anjing

Aku duduk di sudut. Punggung merapat dan kaki tertekuk. Tembok yang dingin di kedua sisiku memberi rasa aman yang aneh. Kuletakkan kepala dalam-dalam di antara kedua lutut, memandangi jari-jari kaki. Lantai yang tak lagi dingin merayapkan rasa hangat perlahan-lahan pada betisku. Telapak kakiku mulai terasa lembap. Begitu sunyi. Begitu sepi.

Suara-suara mampat di kedua telinga. Tangis bayikah itu? Tangis siapa? Bayi siapa? Kuangkat kepalaku pelan-pelan. Tiba-tiba dunia begitu padat dengan suara, tangis bayi, salak anjing, teriakan anak-anak di jalanan depan. Suara tangis itu terdengar serak. Sudah berapa lama ia menangis?

Anjing hitam menyalak keras di telingaku. Aku terlompat. Berlari ke babybox. Kuangkat bayiku dan kupeluk. Sssh, sssh, sssh, Mama di sini, sayang. Kubelai punggungnya dan kuayun tubuhnya perlahan. Celananya basah oleh kencing. Tubuhnya basah oleh keringat. Maafkan aku, bayiku. Kucium pipinya yang lembap dan lengket. Matanya penuh air mata memprotes kepadaku. Anjing hitam masih menyalak, menuduhku.

"Ibu macam apa dirimu?"

"Kenapa Mama biarkan aku menangis begitu lama?"

Tak juga berhenti ia menangis. Tak juga berhenti ia memprotesku dengan matanya. Kupeluk ia lekat-lekat agar tak kupandang matanya. Kulitnya yang lembap semakin lengket bertemu kulitku. Mama buatkan susu ya.

Kakinya menendang-nendang perutku hingga ceret yang kupegang meneteskan air panas ke jari kakiku. Aku mengernyit, diam, menahan sakit. Mungkin ini hukuman kecil bagi seorang ibu yang tak mendengar bayinya menangis. Kuberikan susu hangat itu. Tangisnya berhenti. Bibirnya mengisap cepat. Kuletakkan ia kembali ke babybox. Tangannya menggenggam jari telunjukku erat. Mata yang bening menatapku. Penuh cinta. Kenapa? Kenapa mencintaiku?

Kepalaku mulai berdenyut-denyut. Aku ingin tetap di sudut itu. Ingin kulepaskan jari-jari kecil yang melingkari telunjukku. Ingin sekali kembali menghabiskan waktu memandangi jari-jari kakiku. Tapi matanya, mata bayi itu, mencintaiku, menuntutku, menuduhku.

"Jangan tinggalkan aku, Mama."

Kuusap airmata yang tersisa di pipinya, tapi segera tergantikan oleh airmata baru yang menetes dariku. Maafkan aku, bayiku. Maafkan aku, bayiku. Maafkan aku, bayiku. Aku berbisik berulang-ulang, seolah semuanya bisa termaafkan hanya oleh kata-kata. Ruang ini terlalu sempit, bahkan untuk diriku sendiri. Aku terus membisikkan kata maaf, hingga kata-kata itu tak lagi bermakna.

1 comment:

Anonymous said...

Hi.. format novel kamu seperti di Chicklit: A Guy Next Door, deh... tapi sepertinya isinya sedih2 yah? ada lucu2nya juga nga? congrats, anyway..

clodi.