Thursday, November 4, 2004

Tentang Bayangan Bunuh Diri

From: superpurple@citymail.com
To: magneticfields@luvmail.com
Subject: Re:
Date: Thu, 18 Mar 2004 05:37 PM


Tidak saja menyedihkan, aku juga pengecut karena saat ini -tentu saja- aku masih hidup.

Bebarapa hari yang lalu, aku dan beberapa orang kantor melakukan survey lokasi ke hotel Astoria. Roomboy membawa kami ke lantai 50, di mana semua kamar di lantai itu tak disewakan, hanya untuk contoh.

Ternyata di situlah, di kamar 5006, seorang pengusaha bunuh diri melompat dari balkon. Kata bellboy, pengusaha itu hanya check-in selama 2 jam sebelum akhirnya melompat.

Aku memasuki kamar itu. Membayangkan ia memasukinya dengan beban di hati dan kepala. Apa yang ada dalam pikirannya? Apa yang akhirnya begitu menguatkan niatnya?

Mungkin ia duduk sebentar di sofa itu. Menyalakan televisi? Mematikannya lagi. Menangkupkan wajah pada tangan sambil menangis? Mungkin tak ada lagi air mata.

Mengapa ia tak menulis pesan terakhir? Mungkin ia sudah memberikan pesan terakhir pada seseorang? Pernahkah ia menceritakan keinginan itu pada seseorang?

Kubayangkan ia hanya duduk terpaku dengan kepala kosong selama dua jam itu. Lalu ia berjalan seperti robot ke arah balkon. Menggeser pintu kaca. Angin kencang berhembus menghambat langkahnya sejenak. Ia berdiri di balkon dan melihat ke bawah. Apa yang dilihatnya? Apa yang dipikirkannya? Tangannya meraba pagar besi yang bulat mengkilat. Licin. Dingin.

Dari lantai 50, dunia di bawah nampak begitu tak nyata. Begitu jauh, begitu dekat, begitu tak terjangkau, begitu menggiurkan.
Pagar balkon terdiri dari besi-besi melintang, satu, dua, tiga, empat. Ia menaikkan kaki ke besi pertama. Kaki berikutnya di besi kedua. Kedua tangan di besi teratas sambil mengangkat tubuh yang entah mengapa tiba-tiba begitu ringan. Ia melompat. Dan dunia berputar di sekelilingnya.

Apakah ia ketakutan? Atau justru tersenyum sementara atas menjadi bawah dan bawah menjadi atas? Apa yang dilihatnya terakhir kali? Gedung Astoria yang kemerahan? Langit Jakarta yang mendung keabu-abuan? Apa yang didengarnya? Suara lalu-lintas yang memuakkan? Atau hanya wusssh suara angin yang menulikan? Betapa lamanya. Betapa singkatnya. 50 tingkat di atas tanah, yang ditempuh hanya dalam beberapa detik. Adakah hidupnya melintas di depan mata seperti dalam film-film? Ataukah hatinya semakin sakit dan kosong? Adakah gunanya tindakan itu? Atau justru karena semuanya tak lagi ada gunanya?

Besoknya, kami mulai shooting selama 6 hari di kamar 2206 dan 2201, lantai 22. Aku memasuki kamar dan langsung menuju ke arah balkon. Tapi pintunya terkunci. Supaya tak ada yang melompat lagi? Kutempelkan wajah pada kaca jendela, melihat ke bawah. Membayangkan dirinya dan pikiran-pikirannya.

Tapi nampaknya aku belum siap, tidak akan siap, terlalu pengecut. Masih saja kupikir, kalau aku melompat di hari pertama shooting, berarti seluruh shooting pasti dibatalkan. Padahal kita harus mengejar waktu tayang. Lho, memangnya kalau telat tayang akan berpengaruh apa padaku, mengingat aku sudah mati? Lalu kupikir, sebaiknya bunuh diri di hari terakhir shooting. Tapi, bagaimana proses editing bisa berjalan kalau aku mati, padahal akulah yang paling memahami jalan ceritanya? Lho, memangnya kalau proses editing kacau akan berpengaruh apa padaku, mengingat aku sudah mati?

Begitulah, aku pulang. Besoknya, pergi meeting. Menulis sinopsis dan lain-lain di komputer. Melakukan semua pekerjaan manusia hidup dengan lancar dan penuh semangat. Lho, katanya pengin mati, mBak?
Sewaktu di hotel, ada yang membawa majalah wanita dengan berbagai cerita konsumsi ibu-ibu seluruh pelosok Indonesia. Salah satu artikelnya menceritakan seorang ibu yang meracuni anaknya yang lucu berumur 2 tahun dengan racun serangga, kemudian bunuh diri dengan meminum racun yang sama. Ia meninggalkan pesan terakhir yang kira-kira berbunyi: "Kakak, maafkan aku. Biarkan aku pergi bersama jazad anak kita ini."

Ah, aku tak berhak. Aku tak berhak melakukan itu pada Sidra. Mungkin karena aku juga sebenarnya tak berhak melahirkan dan membesarkannya. Tapi karena sudah telanjur ada, maka aku pun tak berhak membunuhnya.
Anak itu lucu seperti Sidra. Mata bulat bening, rambut hitam lebat. Mati diracun. Mati dibunuh ibunya yang takut mati sendirian. Seperti aku, mungkin. Kubayangkan ia meminumkan racun pada anaknya. Mata yang bulat memandang polos dan percaya, berubah kaget ketika merasakan racun yang dicekokkan. Ia menggelepar dengan mulut berbuih. Cuma sebentar. Lalu diam. Mati.

Kalau sudah mati, tak mungkin lagi buat ibunya untuk mundur, bukan? Betapa pedih hati memandang jasad anak tersayang yang mati terbunuh di tangan sendiri. Tak ada jalan lain selain menghabiskan racun tersisa. Tak ada jalan kembali. Maka matilah mereka berdua. Sang anak terbunuh. Sang ibu pembunuh.

Aku tak mau jadi pembunuh. Apalagi pembunuh Sidra. Mungkin sebenarnya aku juga tidak ingin mati. Tapi hidup yang kupunya sekarang terasa begitu tak membahagiakan sehingga kematian nampak sebagai jalan keluar.

Dulu memang pernah aku ingin sekali bunuh diri. Hanya alasannya belum cukup. Hidupku belum terlalu menderita rasanya. Tapi sekarang, di saat aku sudah begitu benci pada hidup, aku tidak bisa bunuh diri. Karena ada Sidra. Karena Sidra masih hidup.

Kamu tahu, Yudha. Aku tidak lagi punya rasa apa-apa. Aku tidak lagi punya keinginan bercinta dengan Harry, dengan siapa pun, denganmu. Aku tidak lagi menikmati rasa es krim dan coklat kesukaanku. Tidak lagi menikmati buku-buku seperti dulu. Hidupku berjalan seperti robot, harus begini lalu begitu. Aku tidak begitu ingin lagi bertemu kamu seperti waktu itu. Atau bertemu siapapun. Tidak ingin ngobrol. Saat ini, ngobrol kulakukan hanya untuk keperluan kelancaran pekerjaan.

Bahkan kubayangkan kamu sebenarnya tidak ada, hanya teman imajinasiku. Hanya gema dari suara-suara yang kukeluarkan. Hanya bagian dari kejaiban mekanisme komputer. Random answers generated by technology.

Hidup hanya indah dan berarti bila Sidra memandangku. Bila tangan kecilnya menyentuhku. Tidak ada siapapun, apapun, bahkan diriku sendiri pun, yang berarti di dunia ini, kecuali Sidra. Bahkan kebencianku pada hidup pun harus kutangguhkan karena Sidra. Bukan karena dia butuh aku. Tapi karena aku butuh dia untuk merasakan hidup ini. Sidra Azura. Hanya Sidra Azura.

Fuck life.

1 comment:

Nita Sellya said...

So sad, and yet so real.