Ini hanyalah sepotong kehidupan dua orang yang tak pernah bahagia dan berusaha percaya bahwa mereka telah saling menemukan.
Monday, August 1, 2005
Comment from Reader
Anjing! kalo kayak gini terus sampe kapan gw selesai bacanya? padahal udah tinggal sedikit lagi. lucunya, entah pada halaman berapa githu yg pada saat gw ngelamun, terus dapet ide untuk cerita film pendek yang ceritanya sama sekali nggak ada hubungannya dengan novel itu. akhirnya gw seriusin bacanya sambil duduk, konsentrasi penuh, sampai akhirnya selesai. nafas mendesah, kecapean, kayak habis lomba lari marathon dan sampai pada garis finish. lalu aku pun tertidur lelap.
makasih nov.
membaca novelmu telah memberiku pengalaman spiritual yang menyenangkan. aku sangat menikmati membacanya."
-- from dom (by email)
THANK YOU VERY MUCH
Friday, July 22, 2005
More Comments from Readers
thank u for making my thots real in words... something that ive been wanting to do it, but never get the chance, never be able to do it... all i have was only running thots in my mind... now i can read whats inside me! Big thanx !!!"
-- from Heny Ratnawati (by email)
"...ngeliat blog mba, mengingatkan aku untuk jadi diriku sendiri. being such a negative person is not always a bad thing. mungkin bener kata orang, be yourself. aku juga baca subject:re. bagus. salah satu favorit aku sekarang. Mengingatkanku untuk terus berusaha dengan menjadi diriku sendiri.. kalo emang social-life ngga fit, ya ga usah maksain...."
-- from Tri (by Friendster message)
Mon Feb 28 2005 4:44 PM
"Like it. Love it. But somehow it grows some sort of depressions out of me. I always feel unhappy about anything (who doesn't anyways?), but I always manage to look happy and what makes it even weirder, people always see me happy and smiling. After reading your book, I dedicated a whole day to feel unhappy. which again, went unnoticed (darn it!). I love it if I can just whine like you do in your book. I want to write a book where I could just be me.. the whiner..." - from Kikie (by email)
"hmm...yang bikin gue ngotot untuk ke Gramedia at 8.00 pm after mae 10-months-old babe get asleep, karena temen gue bilang, ada novel yang authornya keberatan di stempel chicklit asli buatan Indonesia.:) malam minggu kemaren gagal ke gramedia, ngga diijinin ama mae hubbie, anyway, tadi siang, gue nitipin mae babe ke tantenya dan ngibrit ke gramedia Bintaro plaza to get this book. Finished read it in couple of hours (congrats to me,who rarely finished reading a book---hehehe). I think this's a-must-read-book. Setuju ama tami (kayaknya dia temen gue deh, yang judul blog-nya JuST ME bukan???), kalo chicklit mah...minjem aja, tapi emang warnanya juga sih mbak... Bagus...bagus...bagus,can't wait to read your book again."
-- a recent comment in this post.
"I 've read your novel. Mengingatkan gue sama seseorang yang seperti Nina, seperti elo juga mungkin, yang merasa susah untuk bahagia, depresi dan anti sosial. Gue pun kadang merasa tidak bahagia, walaupun orang selalu komentar bahwa gue baik2 aja. Ada bagian2 Nina dan Yudha yang mengingatkan 'kaya gue banget deh...' O well, overall..gue suka novel nya,mba.... Dan sama gak setuju nya kalau ada tulisan Chicklit asli buatan Indonesia... duuuuhhh...."
-- from Viga (by email)
"Gw beli itu buku BUKAN GARA2 TULISAN NORAK "Chicklit Asli Buatan Indonesia". Najis banget baca label di kiri atas itu. Tapi gw bli buku itu stelah gw curi2 baca bbrapa hal di tengahnya, karna waktu itu di tokonya ada satu buku di tumpukan paling atas yg ga disegel plastik. Isinya memuaskan. Gw sama sama Nina, cuma bedanya gw motret, klo Nina nulis. Hebat. Salut. Tapi gw juga curiga itu mah kisah nyata."
-- from Rara (by email)
Sunday, June 26, 2005
Subject: Re: di mana letak kebahagiaan?
Beberapa bulan lalu aku tidak tertarik membelinya. Mungkin karena ada label chiclit-nya ya, jadi takut ceritanya biasa aja. Pan chiclit-chiclit di indonesia mah suka ngawang-ngawang…ga pake riset dan setting yang jelas. Tapi pas aku menemukan sebuah blog berwarna ungu yang menarik milik seseorang, aku baru tahu kalau didalamnya ada archive, review dan comment tentang sebuah novel. Wah, tenggelam nih baca semuanya sampai-sampai kerjaan gak selesai.Judul novelnya, Subject: Re:
Tapi kini aku menamakannya (belum atas ijin penulis)
Subject: Re: dimana letak kebahagiaan?
Ada satir dan ocehan-ocehan sinis, namun tetap menyimpan kekonyolan dan selentingan black humor yang menetralisir atau juga malah bisa memperparah tema novel ini. Memang untuk menetralisir ungkapan-ungkapan sinis, kadang-kadang kita butuh menjarakinya sejenak dengan humor dan kekonyolan agar setidaknya kamu ini bukan orang yang pathetic amat. Ah aku jadi sok sinis nih. Hehe. Selentingan humor ini mungkin bisa menjadi anti-depressant yang manjur sesaat di saat kamu lelah mengeluh. Intinya, jangan anggap seriuslah…namanya juga cerita…yuk kita bedah novel si purple yang super ini. Tentunya dari subjektivitas aku ya.
Hm…mulai dari mana ya Nov?
Ketika negativitas satu bertemu dengan negativitas lainnya, tinggal menentukan siapa yang lebih lemah dan siapa yang lebih kuat menghadapi ketidak- bahagiaannya masing-masing.
Yang pasti aku suka sekali cara Novita merentangkan setiap kesadarannya tentang ketidakbahagiaan. Percakapan-percakapan brilian sekaligus konyol antara Yudha dan Nina mampu membuatku bisa ikut hanyut dalam ketidakbahagiaan yang mengibakan. Percakapan yang dikemas online ini jadi seperti chatters yang menghinggapi pribadi setiap manusia yang rumit. Begitulah orang rumit, selalu mempertanyakan, berusaha untuk selalu menjadi objektif, dan terkadang terpeleset karena bahasa(kata-kata) dan pikiran bisa saling mengkhianati.
Struktur novel ini pun cukup nyaman dibaca, walaupun dikemas ala online messenger-an, toh tidak mengganggu keutuhan cerita. Malahan semakin melebar dan melengkapi. Tidak seperti novel-novel Indonesia berfragmen lainnya yang kadang bikin keutuhan cerita jadi bolong. Novita secara gamblang bisa mengungkapkan kenaifan Nina dan Yudha, tentang the last resort yang konyol : cita-cita untuk bundir, tentang mengeluh sampai bosan, tentang pelarian dan pencarian mencapai kebahagiaan sebenarnya.
Lelah membacanya? Tidak, malah hanyut dan sempat terukir di bibirku, “sial, kena nih”.
Mungkin saking banyak yang kena, jadinya aku hanya bisa mengutip peragraf2nya. Juga karena kata-katanya begitu jelasnya mendefinikan arti dari semua unsur dan akibat ketidakbahagiaan.
Tentang Lari Lari dan Lari
OTB= orang yang selalu berlari mencari-cari alasan dari pelariannya dan berlari untuk mencari-cari kesamaan ketidakbahagiaannya dengan ketidakbahagiaan orang lain dengan maksud agar ia tidak menjadi seorang picarresque yang kesepian?
Surat Yudha kepada Nina:
Tapi terkadang, manusia ingin juga bersetia. Dan itulah sebabnya, pasangan-pasangan menua bersama, memutih rambut bersama, dan menatap masa lalu dengan mata berkaca-kaca. Karena memang hidup itu membosankan, sedangkan yang lain hanyalah pelarian. Dan manusia terlalu lemah untuk hidup selalu dalam pelarian. Seperti kamu, aku juga lelah berlari, dan berharap dengan begitu hidup bisa menjadi lebih mudah. (E, 78-79)
Tentang sarcastic
OTB = orang yang selalu menilai apa saja dengan kedua sisi yang berbeda yang memihak pada kesinisan dan ambivalensi?
Kata-kata Nina tentang kemungkinan:
Siapa tahu, nanti kutemukan cara untuk tetap bahagia sekaligus kembali menderita.(E, 81)
OTB juga = orang yang bingung memilih karena pasrah, merasa semua akan berakhir sama yaitu menuju ambang ketidakbahagiaan?
Kata-kata Nina tentang selingkuh dengan Yudha:
Bukankah dalam setiap affair, selalu ada harapan yang dimatikan, dan ada harapan baru dimunculkan, walau terkadang cuma palsu. (E, 181)
Tentang memagari diri karena takut
OTB = orang yang takut sakit saat wilayah dirinya tak bisa berkompromi dengan yang lain karena ia tidak memahami bahwa sakit juga bagian dari hidup, selain nyaman?
Puisi Nina:
Karena aku tahu
Tak mungkin mencegah orang lain
Menyakiti hatiku
Maka
Aku mencegah hatiku
Dari merasakan sakit
Dan
Mencegah
Hatiku dari merasakan
Apa yang sedang kurasakan saat ini (E, 192)
Tentang tidak mencintai diri sendiri
OTB = orang yang suka menikmati ketidakbahagiaannya?
Yudha kepada Nina:
Kenapa ada orang yang dilahirkan dengan kesadaran bahwa mungkin, seperti kamu juga, tidak pernah merasa bahagia. Aku juga sadar aku justru malah menikmati ketidakbahagiaan.
Tentang menghayal bundir
OTB = orang yang selalu berpikir “what if”?
Nina berkhayal:
Kadang gue membayangkan lagi berendam di bathtub, lalu mengiris pergelangan gue pake cutter, aneh, rasanya nggak sakit tapi dingin. Gue mau masukin tangan ke dalam bathtub spy darahnya mengembang spt awan merah tapi tangan gue nggak bisa digerakkin. Darahnya menetes ke lantai kamar mandi, menenggelamkan seekor semut. Trus gue sadar wah gue nggak punya bathtub. (E, 211)
Tentang mendefinisi ketidakbahagiaan dengan bahasa
OTB = orang yang ucapannya malah semakin menjelaskan ketakutannya.
Aku mulai tertegun ketika membaca kata-kata Yudha mengenai bahasa dan dunia. Salah satu cara mengungkap-ungkap berbagai alasan dan ekspresi ketidakbahagiaan adalah dengan kata-kata, apakah itu bisa membuat seseorang bisa merasa lebih baik karena sudah membuangnya ke dalam tulisan/ucapan, atau malah….memperparah sudut pandangmu tentang dunia?
Surat Yudha kepada Nina:
Dunia bisa menjadi lebih indah, lebih menyadihkan, lebih sinis, lebih menakutkan, tergantung kata-kata yang kita gunakan. Tapi nyatanya, kenyataan yang kita ubah itu, ternyata hanya berubah di dalam pikiran kita sendiri, bukan? Kenyataan masih tetap sama, kering, kejam, dan membosankan. Dan mungkin karena itu kita berusaha menyaratinya dengan makna melalui bahasa. (E, 232)
Tentang Negatif vs Negatif
Nina si negatif satu, Yudha si negatif dua. Ketika keduanya berhasil menjadi sepasang kekasih yang sudah bisa dinyatakan legal, arti kebahagiaan yang selama ini mereka cari ternyata tidak seindah yang mereka pikir. Ketika negativitas satu bertemu dengan negativitas lainnya, tinggal menentukan siapa yang lebih lemah dan siapa yang lebih kuat menghadapi ketidakbahagiaanya masing-masing. Ternyata menghadapi ketidakbahagiaan berdua itu malah lebih ribet karena toh, ketidakbahagiaan itu bukan untuk dibagi-bagi tapi dimiliki secara privat sebagai hak yang tidak dapat diganggu gugat. (uh, ribet ya? Ga ngarti ya? Ya baca aja di meeting point nomor 7)
Tentang The untamed and tamed Fear
Sampai bab meeting point nomor 8, aku mulai bertanya-tanya, benarkah untuk menjadi bahagia adalah dengan menaruh ketakutan, harapan, keluhan kepada orang lain yang peduli dengan kita? Yang pasti, ketika aku membaca paragraf ini, aku juga berpikiran bahwa orang lain selain kita memang tidak berhak ikut memiliki ketakutan-ketakutan kita, kecuali bila orang itu memang begitu kuatnya mempertahankan ketulusannya atau orang itu terlalu bodoh menjadi recycle bin (ih…apa bedanya ya? Beda ah…ya kan? Ya kan!). Dan Harry, suami Nina menurut Yudha adalah orang yang mampu menghadapi ketakutan-ketakutan Nina:
…ia tidak hanya tidak takut dengan kegilaan-kegilaanmu, tetapi juga menerimanya dan bahkan mungkin memujanya….aku tahu kamu juga tidak bisa berbahagia hidup bersama orang yang tidak mengerti kamu. Tapi nampaknya kamu membutuhkan orang yang mencintaimu dengan semua kegilaanmu seperti Harry, dan juga mengerti kamu seperti aku mengerti dirimu. Dan orang itu bukan aku. (E, 281)
Melalui analogi penaklukannya terhadap si mini, anjing peliharaannya, Nina pun membalas ini dengan pendapatnya tentang bagaimana kegilaan dan ketakutan seseorang hanya bisa dihadapi oleh seseorang yang tidak punya ketakutan sama sekali:
Aku mengulurkan tangan dan ia mencoba menggigitnya, ia menggonggong semakin keras, terkencing-kencing dan terberak-berak saking takutnya. Aku tetap mengulurkan tangan, menyentuhnya, ia menggigit tanganku, tapi gigitannya bahkan terlalu lemah untuk menggores kulitku. Kutarik dia ke dekatku, ia meronta-ronta tidak mau. Tetapi ia kupeluk, kutempelkan bibir di daun kupingnya yang seperti beludru,…. Lalu aku duduk di kursi dan menaruhnya di pangkuanku, memegangnya erat-erat agar ia tak meloncat pergi. Kurasakan tubuhnya tegang di bawah tanganku, makin lama makin melemas. Ia tertidur lama sekali. Aku ingin sekali menjadi Mini. (E, 286)
Subject:Re: Dimana letak kebahagiaan?
Sampai hampir akhir novel ini, aku bisa menyimpulkan bahwa letak kebahagiaan adalah saat kita menemukan kebahagiaan bukan dari orang lain. The concept of happiness is not about being completed by other. Dan ini tertuang dari email Yudha si negatif dua kepada Nina si negatif satu:
Nina, kalau aku tidak bahagia, itu semua sama sekali tak ada hubungannya denganmu. Kebahagiaan adalah tanggung jawab masing-masing. Aku hanya menyadari bahwa tidak mungkin aku bisa membahagiakan orang lain jika aku sendiri tidak merasa bahagia. (E, 282)
Jadi...?
Mencari-cari alasan dibalik pertanyaan tentang ketidakbahagiaan hanyalah salah satu cara Nina dan Yudha untuk mencari kebahagiaan. Tapi tidak semudah itu, ternyata ketidakbahagiaan adalah suara hati seseorang yang hanya bisa dihadapi dengan caranya sendiri.
Seringkali ada orang yang kesannya terlalu mendramatisir/meromantisasi ketidakbahagiaannya. Tapi ternyata seseorang itu tidak setidakbahagia yang sering dibayangkannya. The negative chatter akan selalu merenggut tapi saat yang sama, kenapa gak ditampolin aja dengan ketidakseriusan. Surat terakhir Yudha ini menarik garis merah dari semua lembaran keluhan ketidakbahagiaannya, bahwa kebahagiaan sebenarnya memang tidak ada karena bahagia itu bukan berarti sebuah karunia, melainkan sebuah usaha untuk menghadapi ketidakbahagiaan. Ini semua hanya sebuah cerita betapa naif-nya seseorang melihat sebuah kebahagiaan. Pada akhirnya, menjadi bahagia atau tidak, adalah sebuah pilihan.
-- THANK YOU VERY MUCH! --
Monday, April 18, 2005
"Kotak Sabun", Kerja Mekanik, dan Dedikasi Buku
Katakanlah, "seorang penulis itu sudah mati", ketika bukunya sudah berada di khalayak pembaca. Dalam putaran "kedua", pertarungan berikutnya adalah nasib yang akan menentukan: apakah buku tersebut akan diserbu para penggila buku, atau bertahan menumpuk di antara pengunjung yang "dingin" dengan karya tersebut. Mulai dari perbincangan di kedai kopi, hingga resensi buku berkelas pun, tilai-menilai buku punya cerita sendiri. Cara memandang buku dari banyak sisi tentu akan melahirkan sejumlah kritik, tilaian, pujian, cemooh, bahkan caci-maki. Buku bisa menjadi ceracau yang hangat untuk dibincangkan, ,kadang menjadi trauma, atau bahkan bisa pula melahirkan sebuah kontoversi. Mimpi buruk bisa saja terjadi; buku masih berjejalan di rak buku, dan terbuka kemungkinan komentar di sela rehat salah seorang pembaca: “Ooh… Buku itu,” dengan nada yang dingin.
Novita Estiti, tak akan pernah tahu, kalau naskahnya yang dikerjakannya selama berbulan-bulan itu akan berbuntut "sesuatu" yang bisa dinamakan kontroversi. Novelnya yang berjudul Subject: Re ditambahi sebuah label atau stempel atau apalah namanya yang merujuk sebuah genre yang sedang marak di jagat pustaka kita kiwari. Buku yang terbitkan GagasMedia, (November 2004) itu terdapat lingkaran merah bertuliskan: “Chicklit Asli Butan Indonesia” yang bertengger di bagian kiri atas halaman sampul novelnya.
*
Novel yang ditulis Novita cukup unik. Penceritaan novelnya dipaparkan dalam bentuk pos-el (email) dari tokoh utamanya: Nina dan Yudha. Kedua sahabat ini menjadikan pos-el sebagai media untuk berkomunikasi. Dari pos-el inilah cerita dalam novel dibangun. Dengan penceritaan antara dua tokoh ini, kedalam cerita dan penokohan sangat tergali. Kisah manusia urban dan konstelasi konflik yang sangat personal.
Novita punya latarbelakang bekerja di media. Ia pernah bekerja mulai dari proffesi Redaktur Mode dan Kecantikan, sampai desainer grafis. Maka tak heran jika dia begitu fasih menggambarkan konflik dan setting ceritanya dalam novel Subject: Re ini. Meski ia menegaskan berkali-kali bahwa apa yang ditulisnya adalah sebuah karya fiksi belaka.
Setting ceritanya pun manusia-masnuia yang kesepian di rimba raya metropolitan. Manusia urban dengan kelaziman masalah psikis yang kentara, kontras dengan gebyar profesionalisme lingkup kerjanya. Dari Jakarta, Australia, atau entah di manapun ia, kota tetaplah media simpan yang melahirkan banyak kesepian, begitupun Nina dan Yudha. Tema-tema seputar kematian, bunuh diri, ketidakbahagiaan, dan sisi-sisi buruk kehidupan lainnya.
Layaknya sebuah pos-el, chat, atau dialog di dunia maya, tuturan yang ditampilkan padat, santai, intim, dan bertaburan "bahasa gaul". Bisa dipahami mengingat dengan tuturan demikian, novel ini menyajikan senatural mungkin apa yang terjadi di media maya itu. Gaya penyajiannya otomatis dinamis, spontan, penuh lompatan-lompatan kisah, dialog, monolog, ambience, dan tanya-jawab begitu berserakan, menimbulkan mood hipersensitif, yang reaktif bagi pembaca yang terbiasa dengan dunia maya itu.
Ada formula humor yang rapih tergarap, dan sangat menonjol adalah pencapaian egosentrisma dari tokoh Nina dan Yudha. Bukankah memang demikian, ketika kita punya godmother, sahabat pena, soulmate, atau teman curhat yang apalagi media yang digarap adalah sebuah pos-el. Kesan intim, dan eksplorasi ke-"aku"-an itu akan sarat jadinya.
Kalau menimbang-nimbang paparan ini, khusunya dari segi teknis penggarapan bukankah tak jauh beda dengan kondisi mainstream chicklit yang saat ini marak? Cerita anak muda di perkotaan, yang biasanya digarap dengan bahasa yang santai itu.
“Sejak awal saya menyerahkan naskah pada penerbit, saya menegaskan, kalau ini bukanlah chicklit. Saya tidak mau buku ini dilabeli chicklit karena memang bukan chicklit,” katanya tegas. Meski bersikeras mengatakan naskahnya ini bukanlah chicklit, ia segera menambahkan kalau landasan berfikirnya bukan dikarenakan ada semacam trauma terhadap chicklit. Novita pun pernah membaca Shopaholic-nya Sophie Kinsella, misalnya.
Suatu ketika, saat bukunya sudah tercetak dan telah siap menjadi "warga baru" dalam toko buku, Novita sendiri baru tahu adanya label, tepatnya sewaktu hendak mengambil buku di distributor. Jadi, boleh dibilang ini sebuah "kejutan" buat Novita sebagai penulisnya.
Sebenarnya, kejadian ini bukanlah sesuatu yang rumit, meski tak bisa dibilang sepele. Tahapan last proof sebagai media bibit yang akan diperbanyak secara massal harusnya diperlihatkan oleh pihak penerbit pada penulisnya. Kewajiban bagi penerbit, dan hak bagi seorang penulis. Jika sampai tahap berikutnya, dan ini terlewatkan, kedua pihak harusnya menyadari sudah memasuki tahapan yang keliru. Ada tahapan yang terlewati.
Bukankah hak penulis untuk meminta preparate dari last proof baik materi konten naskah, hingga samak sampul buku, itu sudah semacam kerja mekanis antara penulis-penerbit? Bukankah ihkwal tersebut sudah tercetak dalam lembar hitam dan putih kedua pihak?
Apapun alasannya, dengan kotroversi, buku jadi menarik untuk disimak. Peselisihan paham ini kali pertama disiarkan di sebuah milis perbukuan secara sepihak oleh Novita, sebagai penulisnya. Dalam milis Pasarbuku, Novita menyatakan diri sedang berjuang untuk penolakkannya atas label tersebut. Banyak yang simpati, ada juga yang bersikap toleran atas "kebijakan" penerbit.
*
Genre atau penggolongan atas jenis tertentu telah melahirkan sejumlah kepekaan, daya kritis, dan prasangka. Lucas Seifert pernah dihantam saat menuliskan pemikirannya untuk pembagian genre musik yang menurutnya sangat mengecoh. Menurutnya, pembagian jenis tertentu bukanlah jalan terbaik untuk membuat sebuah penilaian atas kerja seni. Menurutnya, seni produk adalah bagian dari arts itu sendiri. Penggolongan itu, tambahnya lagi, hanya rekaan industri belaka. Saat artikelnya dimuat di malajah musik Spin edisi Inggris November 1989 itu, tak kurang disambut 2.375 pucuk surat pembaca yang menyerangnya, belum lagi polemik yang berjalan berbulan-bulan.
Kendati tidak "semeriah" indutri musik, buku pun telah punya kotak-kotak tersendiri. Ada "kotak sabun" yang menyimpan barang layak laku cepat, ada "kotak emas" atau kotak apa pun namanya itu, yang boleh dimasukan karya-karya "serius" dan sebagainya. Semua itu merupakam sebuah pengkategorian; upaya penyarungan atas sebuah karya, di arah berlainannya akan membuka banyak peluang bergulirnya gunjingan kedai kopi, sampai wacana kritis. Ada semacam kasus temuan bagi Novita atas pelabelan itu telah menyebabkan pembaca pria enggan mermbaca novelnya tersebut. Prasangka atas chicklit yang berkonotasi bacaan wanita, dan ringan juga akan menjebak pembaca buku.
Lahirnya "kotak buku" bernama chicklit, teenlit, momlit, homolit, sampai ladlit dan lain sebagainya, tentu menanggung beban sejumlah wacana diskusi yang hangat hingga kini. Sampai meledaknya Bridget Jones Diary garapan Helen Fielding yang melahirkan beragam asumsi, tak kurang sampai kini ada stigma di pasaran buku dunia dengan perangai buku dalam kotak ini. Mereka lahir untuk mengejutkan, dipuja, namun tak sedikit yang alergi dengan "kotak sabun" ini. Memang begitu resikonya sesuatu yang bernada booming, bukan? Dikotomi pro-kontra, cinta-benci, menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan. Bahkan, Marrian Keyes yang dianggap pencetus kontruksi chicklit pun masih punya ruang untuk didiskusikan kembali.
Apa yang digugat oleh Novita sebagai penulis tentu punya banyak cabang perhatian. Dari sudut hukum ada bagian sendiri yang akan membedahnya secara analitik. Bagian ini akan menghasilkan banyak idea dan atas perangai hukum perbukuan kita saat ini. Tentu saja akan menarik bila menggeret masalah ini dengan "pisau" hukum yang berlaku. Namun, dalam artikel ini, juga menyisakan efek yang lain. Dari segi sosial, Novita punya ekses untuk menolak dimasukkan dalam kotak tertentu, yaitu chicklit. Tapi, apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur, buku dengan label tersebut sudah beredar di pasaran.
Yang perlu digarisbawahi adalah sebuah mekanika kerja kolektif antara penerbit dan penulis buku. Jika sikap kooperatif terjalin, mestinya, kejadian ini musykil akan terjadi. Penerbit yang dibebani tekanan pasar yang sengit, penulis yang dipenuhi semesta raya idealisme, dan kenyataan apa yang terkandung dalam konten buku, seyogyanya bisa jadi rollemodel wilayah kerja kolektif sebuah mekanika industri, bernama industri buku. Terlewatkannya tahapan ini bukanlah semata kesalahan pihak penerbit yang terkesan lalai dan melangkahi aturan, pun, ini cerminan untuk kondisi penulis kita sekarang yang seharusnya lebih gesit, tanggap, dan paham persoalan penerbitan. Saat ini, masih terasa ada jeda roaming bahasa antara penulis dengan penerbit.
Bila saja rundown antara editor, atau pendisain (kaver) buku dengan penulis dalam kondisi ketergesaan jadwal yang padat dan taktis waktu yang rapat oleh ‘mulut harimau’ percetakan. Toh, dengan sejumlah tools (media internet/alat komunikasi) kerja mekanik itu bukan hanya akan mempermudah medan kerja, tapi, mengatasi sekecil mungkin peluang kealfaan ini, misalnya. Juga proses chemical reaction (antara penulis-editor/penerbit) bisa mengurangi sejumlah peluang resiko semacam ini.
Dalam pasar pendapat dalam milis tersebut, Manneke Budiman (pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UI) mengatakan kalau penerbit bukunya sangat terobsesi untuk membuat buku ini laris. Meski bagi penulisnya, Manneke menyarankan untuk membuka diri. Toh, jika ini dinilai sebagai chicklit akan terbuka peluang pendapat: “ini chicklit yang berbeda”. Begitupun Anwar Holid (editor sebuah penerbitan dan sekarang kolomnis di Harian Republika) dalam tanggapan berikutnya, menyarankan penulisnya agar baik-baik saja. Toh, tulis Holid di milis itu, tidak semua harapan penulis akan bukunya terpenuhi.
Dalam kasus ini, Novita pun menyadari adanya sebuah "keuntungan", jika bisa disebut demikian. Setelah masalah ini diangkat ke bebagai media, terutama dari blog pribadi, sejumlah pos-el di milis, dan press release yang di edarkan saat roadshow, bukunya banyak dicari orang, dari sekedar ingin mengetahui sampai yang membeli.
Penulis dan pengotakan bukan hanya akan terjadi dalam kasus Novita , John Grisham misalnya, novelis yang kerap menuliskan kisah-kisah friksi dunia peradilan sempat berang ketika sebuah review untuk bukunya Skipping Christmas dalam The Guardian dinyatakan sebagai buku anak-anak. Grisham beranggapan ini adalah novel dewasa, dan menurutnya, review itu bisa menyesatkan pembaca dan menggeser pasaran bukunya. Tapi yang terjadi, buku Skipping Christmas ludes mendekati 700.000 eksemplar.
Saat itu orang menduga Grisham mencari perhatian ketika ia dinilai mandek untuk menuliskan cerita-cerita sebrilian The Firm, A Time To A Kill, atau The Street Lawyer. Belum sempat sidang pembaca menyaksikan silang selisih antara penulis dan kritikus, lalu juru bicaranya menyalip, menyatakan Grisham berterimakasih atas apresiasi yang sangat dalam atas karyanya. Khalayak langsung dingin, dan cerita ini berangsur-angsur lenyap tanpa bekas.
Lain Grisham, lain pula Sophie Kinsella, si ikon chicklit. Ia harus bersikap menerima ketika gembar-gembor siaran televisi ABC yang menyambut novel Shopaholic & Sister-nya masuk dalam kotak teenlit, bukan chicklit.
“Saya adalah penulis buku. Dedikasi itu punya ruang yang sangat luas. Dedikasi menulis, seperti membuat makaroni. Apa kesukaanmu? Dengan lada hitam? Kompromi saya adalah bagaimana membuatnya lezat untuk makan malam. Jadi saya biarkan mereka yang menikmati,” tutur komentarnya dalam siaran yang sama di keesokan harinya. Padahal dalam siaran itu bukunya itu dianggap meracuni anak-anak muda usia remaja menjadi pelaku "kanibalistis" dunia belanja. Sepertinya, Kinsella acuh bukan karena dia mengalah dengan kritik tersebut.
Dari kedua contoh tersebut, rasanya sikap berserah diri pada sidang pembaca rasanya cukup adil, bukan?
Dewi Rohkmawati, alumnus Psikologi UI, pengelola situs sriti.com, tinggal di Jakarta
Tuesday, March 15, 2005
More Review
When I picked up my copy of Novita Estiti's Subject: Re:, I had a somewhat high expectation. I first found out about the book when it was first released via Novita's post on Blogbugs mailing list. In her post, she complained about the misleading "ChickLit" label displayed on the cover of the book without her consent, and asked comments on the issue. Having no access to the actual book (I was still in Sydney at the time), I had to be satisfied by reading excerpts provided by the author on her blog. After reading the excerpts, not only that I agree that the "ChickLit" label is misleading, but I also became interested in the book itself. When I went to Gramedia a few days ago, the first thing I did was to head to the ChickLit section (I can't help to smirk), and picked up my copy.
I have less reading time now that I'm in Jakarta, but I managed to finished the book this morning. My impression? The book passed my high expectation. I think the reason for this is because I can relate in many ways to both characters, Nina and Yudha. From my perspective, the book talks about boredom with life in general. Whether it is boredom due to the routine of doing the same things over and over again, or because of the routine of constantly changing activities or jobs (which ironically is intended to avoid boredom in the first place). The storyline and the relationship development between the two characters also highlight what seems to be my theme of the month: "The unexpected turns of life."
Not only the story that intrigues me, but also the way of delivery. The book was formatted as a log of some sort, compiling online conversations between Nina and Yudha (eg: emails and messenger logs). I can relate to their mindless ramblings, as I've done it many times through my blog and previously, email. True to the current 'questionaires' trend, both Nina and Yudha filled out this somewhat useless but strangely fun activity. However, it was one of Nina's answer that caught my eyes. The question was "What are your future goals?" -- Nina's answer: "No goals in the future. I can't imagine the future." (p.88). As long as I can remember, I have never read a book with this much connection with myself.
Sometimes the reality can be harsh, and always unpredictable. Subject: Re: succeeds to portray the imperfections in life.
- THANK YOU VERY MUCH -
Sunday, February 13, 2005
An Article in Sriti.com
Apakah Anda pernah membayangkan, buku yang ditulis selama berbulan-bulan itu ternyata jadi laris manis, dipuja-puji banyak kritikus. Kalau pertanyaan ini mudah dijawab, bagaimana dengan pertanyaan lain: pernahkan membayangkan buku yang berbulan-bulan ditulis itu ternyata jadi kontroversi. Wah, yang ini pasti harus ditanya lanjutan pertanyaannya, kontroversi yang bagaimanakah itu? Kalau cuma salah cover atau menolak dikategorikan genre tertentu, apa jadinya?
Kontroversi itu memang bisa diciptakan, bisa juga lahir begitu saja secara natural. Apapun alasannya, dengan kotroversi buku jadi menarik untuk disimak. Baru-baru kali ini hangat sekali perbincangan soal pe-label-an buku milik Novita Estiti atas bukunya yang berjudul Subject: Re dari penerbit GagasMedia tahun terbitan, November 2004. Kontroversi itu terjadi lantaran penulisnya menolak dengan label bertuliskan “ChickLit Asli Buatan Indonesia”. Kesannya sepele, namun menyimpan banyak tanda tanya dan gugah cerita yang masih terselubung hingga saat ini.
Dalam sebuah penjajakan reportase, kami dari Sriti.com bisa mengorek segala keterangan dari penulisnya, Novita Estiti. Hanya dengan sejumlah cara kami ‘tewas’ tak sanggup mendapatkan satu pernyataanpun dari pihak penerbitnya, GagasMedia. Kami tak akan menyatakan mereka ‘ngumpet’ dari kasus ini; karena itu begitu menyesatkan pembaca, percayalah, yang kami tujukan tadinya hanya keterangan dua sisi yang sebenarnya akan sanggup membuat artikel ini mengkilat. Sayang, kami terlalu payah…
Berikut adalah sejumlah dialog yang HANYA kami peroleh dari pihak penulisnya, Novita Estiti. Semoga ada semacam pencerahan kecil dari belibetnya kasus pelabelan ini. Anda bisa menganggap ini pernyataan pribadi penulisnya, tapi, kalau teliti lagi, ini semacam stimulus untuk lebih akrab dengan persoalan perbukuan saat ini, kalau penulis kadang punya posisi yang sangat lemah.
Akhir kata, selamat menikmati.
***
Keterangan: Q=Pertanyaan, A=Jawaban
--------------------------------------------------------------------------------
1) Bisa diceritain singkat secara kronologisnya, saat Novita menyerahkan naskah ke penerbit?
A: Setelah naskah selesai, saya menelepon GagasMedia dan menawarkan naskah pada mereka. Waktu itu saya berhubungan dengan Bpk. Tanudi dari Agromedia, salah satu divisi di penerbitan tersebut. Kemudian Bpk. Tanudi meminta saya mengirimkan naskah. Tanggapan dari GagasMedia cukup cepat, tidak sampai sebulan kemudian mereka menghubungi saya. Saya bertemu dengan pemimpin redaksi penerbit, untuk membicarakan masalah kontrak, editing, dan lain-lain. Dari meeting-meeting awal, saya sudah beberapa kali menegaskan bahwa karya ini bukan chicklit.
2) Apakah ada pasal dari perjanjian/kontrak yang menjadi dasar ‘gugatan’ Novita sebagai penulis menolak pe-label-an ini?
A: Dalam kontrak terdapat sebuah pasal yang berbunyi:
“Sebelum cetak perbanyak (massal), PIHAK PERTAMA wajib meneliti terlebih dahulu naskah bersih hasil suntingan/cetak/coba/semacamnya sekurangnya satu kali dan kemudian membubuhi persetujuan cetaknya. Dan apabila oleh karena satu alasan PIHAK PERTAMA tidak dapat melakukannya kewajiban tersebut maka PIHAK KEDUA dengan itikad baik akan melaksanakan sendiri hal-hal tersebut. Kondisi ini selain untuk efisiensi waktu juga menghemat biaya penerbitan naskah tersebut.”
Dalam kasus saya, tidak sekalipun saya pernah melihat hasil suntingan akhir (last proof) sebelum naik cetak. Padahal sewaktu menyerahkan naskah, beberapa kali saya menegaskan bahwa saya harus melihat dahulu last proof tersebut.
3) Q. kapan pertama kali Novita melihat ada label chicklit dalam buku jadi?
A: Saya baru tahu adanya label tersebut sewaktu mengambil buku di distributor. Jadi cukup merupakan ‘kejutan’ buat saya saat membuka bungkus coklat dan menemukan label tersebut. Desain cover memang pernah diperlihatkan, karena desain seperti itu juga merupakan kompromi saya dengan penerbit (saya menyatakan bahwa saya tidak ingin cover warna-warni yang bahagia khas chicklit). Tetapi pada desain cover yang diperlihatkan pada saya -dan saya setujui- tidak ada label chicklit atau label apapun. Tambahan tersebut baru dilakukan penerbit kemudian, dan seperti yang saya jawab di point 2, last proof tidak pernah diperlihatkan kepada saya.
4) Q: Ketika Novita ‘protes’ apa tanggapan penerbit?
A: Setelah melihat label tersebut, saya segera mengadakan pertemuan dengan penerbit untuk membicarakan masalah tersebut. Selain label chicklit, ada beberapa hal yang menjadi ganjalan, ada beberapa kesalahan editing dan sensor pada beberapa kata. Menurut penerbit, sensor tersebut perlu dilakukan untuk memastikan bahwa karya ini bisa diterima di toko buku manapun. Kemudian soal label, mereka menjelaskan bahwa ini semata-mata strategi marketing. Saya mengerti dasar-dasar argumentasi ini, walau tidak menyetujuinya. Yang menjadi masalah adalah, karena saya tidak pernah berkesempatan melihat last proof, maka saya jadi tidak punya kesempatan untuk berpikir-pikir.
4) Q.Menurut Novita apa dengan label tersebut akan merugikan?
A: Kerugian label chicklit adalah hilangnya sebagian (besar) target pembaca saya. Karena konotasi chicklit yang terutama berarti bacaan wanita, tentu banyak pembaca pria yang enggan membaca atau bahkan sekedar menyentuhnya. Chicklit juga berkaitan erat dengan bacaan ringan, sedangkan Subject: Re -pada pendapat saya- sama sekali bukan bacaan ringan (saya rasa pendapat ini benar, karena Subject: Re bicara banyak soal kematian, bunuh diri, ketidakbahagiaan, dan sisi-sisi buruk kehidupan). Jadi mereka yang membeli buku ini dengan harapan mendapatkan bacaan ringan menghibur, akan kecewa dan menganggap novel Subject: Re: adalah chicklit yang buruk (yang tentu saja benar). Hal ini juga dibenarkan oleh seorang pembaca saya (Julian, Rizal - red), seorang pria yang hampir urung membeli novel ini karena melihat label chicklit-nya.
5) Q: Atau, ada keuntungan yang ternyata dirasakan setelah ada label itu?
A: Keuntungannya, jika bisa disebut demikian, mungkin datang setelah masalah ini saya angkat ke berbagai media. Karena kebetulan saya menggemari teknologi, saya membuat blog sendiri untuk novel ini berisi cuplikan, komentar, berita, dan lain-lain. Di situ saya juga menulis tentang masalah pe-label-an ini. Saya juga mengirim email ke beberapa milist, serta mengirimkan buku beserta press release berisi penjelasan saya ke beberapa media. Tentu saya sadar bahwa ini bisa jadi ‘black marketing’ di mana saya menggunakan kontroversi atas sesuatu untuk mendorong publikasi novel. Tapi saya pikir, daripada novel saya dibiarkan ‘tersesat’ di rak chicklit di toko buku, lebih baik saya sendiri yang berusaha melakukan sesuatu. Dengan beberapa cara yang saya lakukan di atas, ternyata cukup banyak tanggapan yang masuk baik melalui email pribadi maupun ke blog tersebut. Ada juga yang tertarik membeli setelah membaca ’ribut-ribut’ ini.
6) Q: Mengapa Novita bersikeras tidak mau ini di-label-kan sebagai chicklit?
A: Saya tidak mau buku ini dilabeli chiklit karena memang ini BUKAN chicklit. Tidak ada trauma apapun terhadap chicklit. Saya mengakui bahwa saya bukan penggemar chiklit, walau membaca juga Shopaholic-nya Sophie Kinsella. Tetapi ketidakgemaran saya kepada chicklit adalah semata-mata soal selera saja. Definisi saya pada novel ini ya novel fiksi saja. Mungkin -buat beberapa orang- kurang spesifik, tetapi memang demikian halnya. Saman itu novel fiksi, Larung, Jalan Tak Ada Ujung, Dadaisme, Catcher in The Rye, semua itu definisinya novel fiksi saja.
7) Q:Apakah Novita merasa terjebak dengan kasus pe-label-an ini?
A:Saya mengakui sedikit merasa terjebak pada posisi saya. Penerbit memang sudah menawarkan untuk mengganti desain cover secara keseluruhan pada cetakan kedua dan seterusnya. Mereka tetap bertahan dengan (sejumlah) sensor, kali ini karena alasan moralitas penerbit (yang membuat saya bertanya-tanya juga, kalau memang demikian moralitasnya, seharusnya dari awal jangan menerima naskah saya lalu menyensornya tanpa pemberitahuan).
8) Q:.Menurut Novita,apakah penulis sangat lemah/ rentan di dalam kasus ini?
A: Saya tidak tahu bagaimana di penerbitan lain. Tetapi dalam hal ini, saya memang merasa posisi saya sebagai penulis cukup lemah. Saya tidak diberi kesempatan melihat last proof sehingga terjadi hal-hal ini.
10) Q: Selama proses ‘roadshow’ ke daerah-daerah, apa ada tanggapan dari pembaca soal pe-lebel-an itu..?
A: Saat roadshow ke daerah-daerah, saya membiasakan diri untuk memberikan press release mengenai Subject: Re bukan chicklit kepada audience. Hal ini terutama dilakukan di Yogyakarta dan Solo. Sewaktu di Bandung, saya baru melakukannya secara verbal saja. Sewaktu di Solo, ternyata ada beberapa orang yang sudah membaca, dan mereka setuju bahwa novel ini tidak bisa dilabeli chicklit.
***
Dewi Rokhimawati, alumnus Psikologi UI, Pecinta Buku, Tinggal di Jakarta.
Dalam kesempatan mendatang, rekan Sjaiful Masri akan lebih menyoroti isi buku dengan gaya yang lebih segar, dan tentunya hanya ada di Sriti.com.
Lebih lanjut, silakan masuk ke : http://subjectre.blogspot.com
Friday, February 11, 2005
More Comments from Readers
Thank God I did, and thank God I bought and read the book. Just wanna say thank you for this brave, honest, and VERY relatable piece of work. Really, I've never found a story and characters that I can relate to THIS much in a long, long time. I'm telling you, I can relate to your story and your characters even to the smallest word. There are words in your book that I remember thinking them. Exactly word by word...."
-- from Rizal (by email)
"WHAT A NICE NOVEL!!! Dalemmmm banget... Tapi mnurut saya, novel ini realita banget kok. Memang bener, terkadang ada org yg takut akan dirinya sendiri, kejujuran akan dirinya, jiwanya...."
-- from Arien (by email)
"All my life there's only one book that can make my eyes full of tears, yours. It reflects my deepest thought of life itself."
-- from Danni Junus (by sms).
"love your book
thank you for being so bluntly honest
thank you for asking all those questions outloud
and
thank you for not trying to answer them for us."
-- from anita (by email)
"I don't usually buy your kind of writings, but I find it 'devastatingly' beautiful, honest and so everyday-life.....Bisa aja gw yg jadi si 'Yudha', tapi ya ndak se-miserable dia sih...."
-- from Benny (by Friendster)
"I love it. I simply do. The way you tell the stories through the emails and chats of two people... is just amazing. Sometimes you don't know how much those short conversations over emails and chat can and can't convey. It gives the illusion that you know someone, yet not knowing that person. And also the way you tell it, make you question whether the lives you read are yours and those related to you, or only fictions. Or am I actually reading my life?"
-- from Meta (by email).
"...membaca novel anda, saya seperti berperang dengan diri sendiri. antara ingin menaruhnya di sudut rak buku saya, atau melahapnya sampai tuntas. untungnya, keinginan kedua yg menang. mungkin, saya termasuk orang yang tidak bahagia tetapi pura-pura bahagia. saya bahagia--what a beautiful lie!"
-- from Windy (by email)
Tuesday, January 25, 2005
From A Discussion in the ResensiBuku Mailing List
Date: Tue Jan 25, 2005 1:13 am
Subject: Re: [ResensiBuku] Subject: Re:
Poppy :
----cut
Ada satu komentar di belakang buku dari Eliza Dewi yg menyebutkan '...power dari buku ini: realita yg jujur.' Serem amat sih kalo jujurnya kaya begini? Jadi banyak toh orang2 yg kaya begini di dunia? Haaaah?? Jadi penasaran, Mbak Novita ini riset dimana Mbak? Emang punya temen2 yg kaya gini atau malah pengalaman pribadi? Hehehe... mudah2an nggak
ya?
----cut
Dessy :
----cut
buat yang ngerasa buku ini beraura negatif, setidaknya buku ini menggedor hati untuk melihat sebuah generasi yang tersembunyi. terlepas apakah masyarakat menolak, menerima, atau memusuhi, tokoh2 seperti dgn cara hidup dan cara pandang seperti ini 100% nyata dan ada.
----cut
Saya bisa memberikan komentar seperti itu, ya karena saya pikir buku ini mengangkat realita yang sudah ada di Indonesia. Saya kurang lebih juga setuju dengan komentar Dessy yang menyinggung soal generasi tersembunyi. Meskipun sebenarnya sih nggak tersembunyi2 amat. Hanya barangkali masyarakat kita banyak yang memilih untuk pura2 tidak tahu tentang mereka.
Waktu saya membaca Subject: Re:, saya menebak bahwa setidaknya novel ini akan menimbulkan dua reaksi. Yang tersentuh dan merasa novel ini "gue banget . Atau yang choose to ignore dan lari kembali ke sudut nyamannya. Saya tidak merasa salah satu reaksi ini ada yang salah. Toh, dua2nya bisa dimaklumi. Reaksi yang pertama wajar, karena sering orang bisa mendapat penghiburan dari orang yang jalan pikirannya atau pengalamannya mirip. Reaksi yang kedua juga wajar, karena bagaimanapun kamu pasti sedikit kaget kalo berbenturan dengan dunia yang begitu lain dengan duniamu. Apalagi kalo gaya pengungkapannya begitu jujur seperti dalam novel ini.
Bagi saya, novel ini cuma mau jujur. Meskipun yang diangkat dunia yang gelap Tapi toh jujur, tidak dibuat2. Begitu ya begitu. Meskipun resikonya ya terima reaksi2 yang agak keras. Yah, jujur itu sudah jadi barang langka sekarang ini. =)
Eliza Dewi - sealthewriter
http://sianjinglaut.blogspot.com
Monday, January 24, 2005
From A Discussion in the ResensiBuku Mailing List
Date: Mon Jan 24, 2005 2:48 am
Subject: Subject: Re: -- a voice from the Hidden Generations
akhirnya berhasil juga baca Subject:Re dan saya sendiri bakal bilang, "Buku ini gue banget!" Mungkin karena selama ini saya juga hidup dari internet, mulai dr imel, chatting, sampe nge-blog, jadi dunia yang diceritakan Estiti itu deket banget dengan kehidupan internet yang saya tau.
buat yang ngerasa buku ini beraura negatif, setidaknya buku ini menggedor hati untuk melihat sebuah generasi yang tersembunyi. terlepas apakah masyarakat menolak, menerima, atau memusuhi, tokoh2 seperti dgn cara hidup dan cara pandang seperti ini 100% nyata dan ada.
Bahwa tidak ada problem solving terhadap pertanyaan2 filosofis (ttg ketidakbahagiaan, kebosanan, dll) yg terbangun dalam kedua karakter ini, menurut saya itu bukan masalah. toh plotting2 actionnya sudah terselesaikan (keputusan utk hamil, cerai, berselingkuh, putus dr perselingkuhan, dll). soalnya pertanyaan filosofis kan memiliki jawaban yg sangat luas dan dengan mengetahui ketidakbahagiaan itu apa, mungkin kita bisa bertanya pada diri sendiri: kebahagiaan itu apa? Dan cukup hati kita saja yang menjawabnya.
anyway, it's a good book. scene-scene-nya terasa cepat dan lompatan waktunya juga cepat tapi ngalirnya enak. obrolannya fokus dan to the point.
jauh sebelum bukunya terbit, saya sudah direkomendasikan oleh teman saya untuk membaca buku ini dan saya setuju buku ini bukan chicklit. Estiti, maju terooosss! ;)
D.
From A Discussion in the ResensiBuku Mailing List
Date: Sun Jan 23, 2005 12:57 am
Subject: Subject: Re:
Udah selesai baca Subject: Re:. Wuidiiiiih....ini buku bener2 bikin depresi. Ceritanya tentang dua orang yg sama2 gak pernah bisa nikmatin idup, e-mail2an, dan buku ini isinya kumpulan e-mail mereka dan hasil chatting. Tapi Mbak Novita boleh juga lho, bisa menerangkan karakter kedua orang ini dan cerita kehidupan mereka hanya dari isi e-mail mereka.
Ada satu komentar di belakang buku dari Eliza Dewi yg menyebutkan '...power dari buku ini: realita yg jujur.' Serem amat sih kalo jujurnya kaya begini? Jadi banyak toh orang2 yg kaya begini di dunia? Haaaah?? Jadi penasaran, Mbak Novita ini riset dimana Mbak? Emang punya temen2 yg kaya gini atau malah pengalaman pribadi? Hehehe... mudah2an nggak ya?
Kalo gue setelah baca punya kesimpulan bahwa kedua tokoh ini: egois, gak bahagia (of course!), negative thinking, introvert, menjurus ke suicidal, cenderung atheis, nggak melek mata soal dunia yg indah (katanya), dll dsb yg serem2. Jadinya gue belajar juga bahwa orang2 kaya gini pikirannya seperti ini ya? How pathetic! Gue jadi amat sangat bersyukur bahwa gue gak pernah punya masalah seperti kedua tokoh ini dan gak pernah ketemu orang2 seperti mereka.
Salut buat Mbak Novita. Dengan setting cerita hanya e-mail, jadinya gak perlu tuh mengikuti peraturan bhs Indo yg baik dan benar. Salah tulis atau salah eja juga sah2 aja. Bacanya enak, tapi sambil merinding.
This is not my kind of book, actually. Tapi seneng juga udah pernah baca. Dan memang bukan CHICKLIT! Ayo, Mbak Novita, perangi orang2 yg mau mengkategorikan buku ini sebagai chicklit! Seperti kata Tya, chicklit sebetulnya jangan dikasih label 'literature', cukup 'fiction' aja kali ya Tya? Tapi Subject: Re: menurut gue pantas dimasukin kategori literature, walaupun gak ngikutin estetika tata bahasa.
Poppy
From A Discussion in the ResensiBuku Mailing List
Date: Thu Jan 20, 2005 10:56 am
Subject: Subject : Re :
wah, saya agak gak menikmati baca buku ini, gak tau ya? energinya terlalu negatif gitu, tapi mungkin emang mau pengarangnya ya?
ceritanya ttg dua orang yg punya hubungan, gak jelas juga pertemanan atau apa, tapi mereka merasa saling membutuhkan, dan cerita dibangun dlm email2 dan script chat berdua, bagi mereka gak ada yg harus dirahasiain selama mereka tetap berhubungan seperti itu, nah awal2 cerita saya udah mo nyerah aja ngebacanya, abis puyeng, banyak pertanyaan2 mereka yg dalem bgt, tapi gak pernah terjawab, semuanya hanya mungkin...mungkin...dan mungkin..., jadi mereka kayaknya sibuk dgn diri sendiri aja.
lalu cerita terus berlanjut, dan sampai saatnya mereka akhirnya punya hubungan yg lebih dalam, dan ternyata...hal itu juga gak ngebuat mereka lebih bahagia, selalu ada aja hal yg yah...merasuki pikiran mereka, so lama2 jadi malah gak seakrab waktu cuma temenan lewat cyberspace doang.
kalo saya liat2 sih, kayaknya mereka berdua jenis orang yg agak2 kurang bersyukur, means...gak menghargai apa yg udah mereka dpt, tapi terus menyesali apa yg gak pernah bisa diraih, kasian sih...tapi mereka juga tipe yg gak mau dikasihani kayaknya hehehe, maunya sih mereka jadi orang yg unpredictable, yg beda aja dari orang kebanyakan, tapi jadinya malah menyengsarakan diri sendiri, atau mungkin gak?
bagi mereka lebih baik gak seperti orang lain yg munafik kali ya? jadi jujur2an aja gitu, tapi mereka sendiri sebenernya takut kalo kejujuran itu bakalan nyakitin diri sendiri, dan finally kayaknya memang iya.
gak ada salahnya baca ini novel, kalo emang sukanya baca yg rada2 filosofis, tapi mungkin this is not my kind of book ya? di akhir2 aja saya baru ngerasain yg mau pengarangnya kasih tau, telat bgt gak? jadi silahkan menilai sendiri deh...
anyway i thank kang usen buat hadiah buku ini...
thanx
nana
btw...soal buku ini, aku pernah liat debatnya di milis lain, n ngomongin soal label chicklit nya, well... i think ini kalo dibilang chicklit, pasti berat bgt, tapi aku pernah juga baca chicklit yg isinya agak kayak gini, walau gak negatip2 amat siy!
no hard feelings siy, aku agak2 gak percaya ada orang yg punya sifat bener kayak si nina (main character) di kenyataannya, mungkin ada but i havent meet them, may b...
soal bentuk penulisannya, aku hanya agak bingung pas baca yg dlm bentuk script chatting itu, suka kebolak2 mana yg ngomong nina, mana yg yudha (kalo gak liat id nya), that's all deh!
nana
From A Discussion in the ResensiBuku Mailing List
Date: Mon Jan 17, 2005 4:45 pm
Subject: Subject: Re:
"Ini hanyalah
sepotong kehidupan
dua orang yang tak pernah bahagia
dan berusaha percaya
bahwa
mereka telah saling menemukan"
Kata-kata di atas adalah pengantar dari novel Subject: Re:, dan kata-kata tersebut juga yang mempengaruhiku untuk membaca buku ini. Seolah menyindir kita akan keyakinan kita dalam menentukan suatu pilihan.
Subject: Re: mengisahkan tentang kehidupan dua anak muda yang merasa hidup mereka terjebak dalam rutinitas yang membosankan.
Nina, seorang perempuan muda, freelancer di sejumlah majalah mode, merasa hidupnya itu hanya 'begitu-begitu' saja, justru dia lebih suka ketika sedang menganggur karena bebas melakukan apa yang dia mau. Sampai akhirnya dia harus menikah karena hamil di luar nikah dengan pacarnya yang berusia lebih muda darinya. Satu-satunya kebahagiaan yang dirasakan Nina, adalah ketika sedang bersama anaknya, ditemani anjing kesayangannya.
Sedangkan, Yudha, mahasiswa S3 yang memperoleh beasiswa di Australia, tinggal seatap dengan pacar bulenya, Claire, juga punysa perasaan yang tidak jauh beda dengan Nina, merasa bingung dengan tujuan akan tujuan hidupnya.
Percakapan/komunikasi antara mereka berdua yang ditampilkan dalam bentuk e-mail dan chatting, menggambarkan bagaiman dalamnya rasa keputusasaan, ketidakbahagiaan dan kebosanan yang mereka berdua rasakan. Bahkan, begitu putus asanya Nina, sampai pernah membuat rencana 'gila' untuk bunih diri. Kita bisa tersenyum pahit dengan cara penyampaian yang santai, padahal yang sedang dibicarakan adalah rencana bunuh diri.
Sampai pada akhirnya, mereka merasakan suatu ketertarikan, mereka berdua merasa cocok satu sama lain, merasa sudah "menemukan satu sama lain". Akhirnya, timbulah apa yang disebut Yudha dengan 'perselingkuhan rasa', dan jadi perselingkuhan yang sebenarnya.
Nina, pun bercerai dengan suaminya, dan Yudha putus Claire. Mereka memutuskan untuk mencoba 'jalan' bersama.
Tapi ternyata, kecocokan itupun harus berakhir dengan suatu ketidakbahagian. Kesalahan 'kecil' menyebabkan kesalahpahaman, kemudian menjadi pertengkaran, yang berbuntut pada perpisahan, seolah mereka menyadari bahwa ada perbedaan yang cukup prinsip dalam diri mereka.
Percakapan yang lugas dan blak-blakan menjadi kekuatan novel ini. Tapi, seandainya novel ini ditulis dalam bentuk narasi biasa, bisa jadi membosankan. Tulisan dalam bentuk e-mail dan chatting menjadi keunikan tersendiri dari novel ini. Sepintas sempat terpikir, "Jangan-jangan ini memang pengalaman pribadinya Novita, nih.."
-ferina-
Monday, January 17, 2005
From Republika, Sunday Edition
Tidak Semua Penulis Tergoda
Popularitas chicklit dan teenlit ternyata tidak membuat semua penulis tergoda. Setidaknya, begitulah yang coba ditunjukkan Novita Estiti dalam karyanya, Subject:Re. Saat banyak orang berlomba-lomba untuk menulis chicklit, Novita malah mencak-mencak dengan stempel 'chicklit asli buatan Indonesia' yang ada di sampul bukunya.
Sejak awal, Subject:Re, yang diterbitkan Gagas Media, tidak pernah dimaksudkan sebagai chicklit. ''Stempel itu dicantumkan tanpa sepengetahuan saya,'' kata Novita. Menurutnya, seperti dikutip dari blogspotnya, novelnya tidak dapat masuk ke dalam definisi genre chicklit.
Subject:Re bercerita tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan, dengan proporsi yang sama besar. Tidak melulu bercerita tentang tokoh wanitanya. Tokoh wanitanya pun sudah menikah dan memiliki anak. Sedangkan chicklit, salah satu persyaratan utamanya adalah status lajang sang tokoh utama wanita.
Menurut Novita, cara penulisan Subject:Re pun sama sekali tidak dimaksudkan bersifat ringan dan menghibur. ''Dan yang paling utama, cerita ini tidak berkisah semata tentang kehidupan sehari-hari, tapi lebih kepada isu-isu yang mendalam dalam,'' jelasnya.
Menurut Novita, pihak Gagas Media mengakui bahwa stempel tersebut adalah tehnik pemasaran semata. Stempel chicklit diharapkan dapat memacu angka penjualan. Pihak Gagas Media sendiri berjanji tidak akan menyertakan stempel tersebut pada cetakan selanjutnya.
Menurut Novita, penolakannya terhadap stempel tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan citra chicklit ringan. ''Jangan salah, saya suka kok baca chicklit. Saya punya beberapa,'' tuturnya. Ia hanya tak mau mengecilkan sasaran pasarnya. Dengan stempel tersebut, Subject:Re kehilangan beberapa pembeli utamanya.
(mg07)
Sunday, January 16, 2005
Monday, January 10, 2005
Wednesday, January 5, 2005
A Review from Djenar Maesa Ayu
Pada akhirnya kebahagiaan digugat, karena kebahagiaan tidak ada, tepatnya, kebahagiaan ternyata adalah sifat imajiner dalam tiap kepala. Bahwasanya realitas tidak mampu mengakomodir imajinasi, alam ide, atau kebahagiaan imajiner, karena dalam dunia bentuk kita semua bertubrukan dengan batasan. Dengan norma. Dengan berbagai kontruksi kekuasaan agama, hukum, dan sebagainya, tentang apa yang baik dan tidak baik. Apa yang benar dan mana yang salah. Sehingga imajinasi menjadi satu-satunya peluang untuk mendekontruksi nilai-nilai yang diseragamkan dalam realitas.
Dunia maya, komunikasi tekstual, adalah simbol imajinasi. Di antara huruf per huruf yang terketik, tersisa ruang kosong untuk berimajinasi, untuk berharap. Sehingga format surat elektronik yang dipilih oleh penulis untuk mengomunikasikan idenya tentang realitas dan imajinasi adalah pilihan yang sangat tepat. Teks adalah imajinasi yang mengejewantah sebagai riil. Teks membuat imajinasi nyata. Teks juga, membuktikan bahwa mayoritas kita tidak mampu menahan ego untuk menyimpan imajinasi tetap pada tempatnya. Ia belum berarti sebelum menjadi nyata, sebelum menjadi teks. Tanpa bentuk, imajinasi hanya akan menjadi milik pribadi si empunya imajinasi. Ia bisa hilang begitu saja, tak terakui oleh realitas sebelum mewujud bentuk. Teks di sini, menjadi satu bukti di mana ego kita begitu ingin mengabadikan imajinasi dengan mentransformasikannya ke dalam dunia nyata.
Ternyata tidak hanya berhenti pada teks. Imajinasi, atau harapan pun masih perlu dijajal dalam bentuk tindakan yang lebih konkrit. Dengan kata lain, kebahagiaan imajiner atau harapan itu, begitu menggiurkan untuk direalisasikan. Yudha dan Nina – dua tokoh dalam novel ini – adalah contoh kasus manusia-manusia korban imajinasi. Korban harapan. Lewat surat elektronik maupun chatting, mereka membongkar sendapan-endapan bawah sadar mereka tentang harapan, dan mengupasnya dengan memaparkan berbagai silsilah mengapa harapan itu mengada.
Tentang Nina kecil yang tak merasa bahagia semasa kanak karena merasa tidak menjadi bagian kebahagiaan orang tuanya, bahkan mungkin, merasa tidak menjadi bagian dari ketidak-bahagiaan oang tuanya. -- “Cita-cita” ayahnya yang hanya ingin hidup bahagia dengan memiliki istri yang baik, dan anak yang manis, mengacu kepada penyeragaman atas ide standar kebahagiaan. Bukankah pencanangan Keluarga Berencana, industri media periklanan, telah mencuci otak masyarakat dengan imaji bahwa keluarga bahagia adalah keluarga yang punya seorang kepala rumah tangga pencari nafkah, istri mengurus urusan rumah, dua anak yang bisa diberi pendidikan sekolah, satu mobil kecil, satu rumah kecil, sehingga jika kurang dari itu konsekwensi yang harus diemban tentunya sensor dari masyarakat, bahwa kita belum menjadi manusia utuh, belum bahagia? Tapi apakah penyeragaman standar ini sudah cukup? Tentu tidak. Manusia butuh lebih dari itu. Karena itu manusia tak pernah berhenti berimajinasi, atau menciptakan kebahagiaan subyektif yang tak sejalan dengan kebahagiaan kolektif.
Tentang Nina yang tidak mendapat “partner intelektual” selain kebaikan dan pengertian belaka dari suaminya. Pun demikian dengan Yudha yang sudah menjalani hidup bersama dengan Clarice (kebangsaan Australia) selama enam tahun tapi tak menemukan kebahagiaan karena tak pernah berhenti mencari akar kebudayaannya. Tentang pekerjaan. Tentang cita-cita menjadi penulis. Bahkan hal “remeh temeh” semisal bunuh diri. Hal-hal yang menjadi ringan dibicarakan ketika ia hanya sebatas teks. Hal-hal yang tak mutlak dipertanggung-jawabkan karena mereka terpisah jarak, di sisi lain, tersatukan jarak.
Betapa imajinasi dan realitas adalah dua hal yang terpisah. Namun mereka mustahil untuk dipisahkan. Realitas memicu imajinasi. Imajinasi balik memicu realitas. Selamanya berputar di satu titik yang itu-itu juga. Yudha dan Nina sama-sama merasa tak cukup dengan apa yang mereka terima dalam realitas. Mereka berimajinasi. Mereka sama-sama menciptakan harapan baru. Harapan-harapan itu mereka realisasikan menjadi bentuk teks (bertukar surat elekronik dan chatting),hanya dengan cara itu masing-masing mereka bisa mengerti harapan masing-masing sehingga muncullah rasa senasib, rasa saling menemukan. Setelah proses ini, mereka kembali mengusung realitas (rasa senasib dan saling menemukan) ke dalam imajinasi, mengamini bahwa yang mereka rasakan begitu riil ini adalah memang riil. Lantas mereka ingin membuktikan dengan mengusung imajinasi kembali ke dalam realitas dengan menjalaninya, menghadapinya. Mereka bertemu, berselingkuh, dan bercinta. Setelah imajinasi berbalik ke realitas, ternyata realitas tidak memberi apa yang selama ini terbangun dalam imajinasi mereka. Bahwa realitas ini ternyata tidak sebatas kata-kata atau teks, tapi realitas adalah bentuk, adalah dunia materi, di mana mereka harus berhadapan dengan nominal-nominal, dengan barang-barang belanjaan, hubungan mereka pun kandas. Kebahagiaan imajiner itu tetap satu langkah di depan mereka.
Saya rasa Novita Estiti sangat sadar fungsi format atau bentuk. Bahasa ringan dengan berbagai istilah gaul ia gunakan untuk menunjang bentuk surat elekronik. Bentuk surat elekronik ia gunakan untuk menunjang tema cerita, atau simbol realitas dan imajinasi. (Komputer, teks, adalah perangkat, adalah bentuk. Tekhnologi menghadirkan dunia maya. Ia menyatukan jarak. Jarak adalah ruang imajinasi). Maka lepas dari format bahasanya yang gaul, atau tema perselingkuhan yang sudah sangat lazim, menurut saya novel ini berbicara lebih dari semua itu. Ia bicara tentang kegamangan kita semua yang terhimpit di antara dua dunia, dua alam, alam ide dan alam bentuk. Terombang-ambing antara dunia maya dan dunia nyata. Kekecewaan kita semua terhadap rasio yang tak rasional. Dan harapan kita untuk tetap hidup sekaligus mati. Untuk terjaga sekaligus bermimpi.
DMA, Jakarta 14 Desember 2004 12:13:07 PM
-- THANK YOU VERY MUCH! --
Saturday, January 1, 2005
A Review in PSTC mailing list
Date: Wed Dec 29, 2004 10:31 pm
Subject: Tentang Subject: Re:
I couldn't enjoy it.
En no... bukan karena isinya rada blak-blakan.
Bukan karena dia nggak happy ending (geez it didn't even have a happy beggining). Nggak juga karena most of what's in there is both so ugly and so true (least to me). Tapi semata-mata (mungkin juga udah pada ngeh) karena when it comes to story gua ini konservatif.
To me story is about plot. There's a beggining, klimaks, antiklimaks dan ending. Anything less is less enjoyable to me. En Subject: Re: totaly screw that up for me. Mbak Novita putar balik semuanya. Percakapan yang biasanya buat 'menerangkan' plot jadi bagian utama. Plot yang biasanya bagian utama jadi 'background'... dikasih tau sambil lalu. Seperlunya.
Mula-mula setelah gua menyesuaikan diri dengan formatnya gua bisa enjoy. Ada karakter lain ada kejadian-kejadian yang lumayan kontinu. Tapi makin jauh ceritanya mengkonvergen cuma ngomongin dua tokoh utama itu doang. En meski cara bertuturnya begitu alamiah begitu luring the whole thing talk about the same thing over and over and over again. They way they pity themselves made me sick. Was so sick and tired I could feel the character's boredom... unhappiness... guilt.
It made me unhappy and bored. Tapi justru karena itu sisa tulisannya jadi make sense. The suicide talk... the affair... the fight... the self-punishing...
*sigh*
This is definitely... definitely NOT chicklit.
Hal lain yang gua sadari...
Target audience buku ini sempit. Sempit sekali. Nggak heran banyak tanggapan ngaco. Tambah kacau lagi gara-gara cap chicklit.
Targetnya bukan by usia atau pekerjaan apalagi budaya. It's about that special type of people who get everything easy in the world.
Orang-orang yang nggak pernah dapet masalah sehingga selalu mengejar tantangan yang lebih dan lebih. Orang-orang yang have too much time at hands they try to make sense out of EVERY thing. Yang menyakiti dirinya sendiri untuk membuktikan mereka masih hidup.
Mereka nggak kaya tapi nggak pernah miskin.
Mereka nggak berprestasi tapi nggak pernah gagal.
Mereka nggak cakep tapi ada saja yang nguber.
Mereka normal tapi nggak pernah "fit in".
Mereka tertawa tapi nggak bahagia.
They are the kind that easily get what they want... they no longer know what they really want.
If you know entah ngalami sendiri atau pernah kenal orang kayak gitu... THEN you won't kasih komentar yang nggak-nggak.
Congratulation Mbak Novita. I couldn't enjoy it but it was one hell of a ride. Kayak roller coaster yang gua benci tapi bakal gua bangga-banggain ke yang belum pernah naik...
Truly insightful. Much needed reminder...
Forever insane,
pAUL
-- THANK YOU VERY MUCH! --